Selasa, 21 November 2017

Lanjutan 22 Nov

Amalan Wirid Singkat Untuk Segala Hajat Dari Habaib Dzurriyah Rasulullah SAW

Posted by Andika Pratama at Sunday, February 08, 2015

Advertisement

Sangat baik bagi kita mempunyai wirid amalan yang bisa kita gunakan untuk wasilah bermohon kepada Allah SWT. Salah satu amalan yang bisa kita jadikan sebagai wirid adalah amalan wirid segala hajat ini. Cukup singkat tapi mempunyai khasiat dan fadhilah yang luar biasa besar. Karena wirid ini berasal dari asma Allah yang terkandung dalam al-Asma’ al-Husnaa.

Wirid ini diijazahkan oleh kaskuser dengan id: sebastiantenyom . Inilah yang disampaikannnya:

“Menyambut bulan maulid Nabi Muhammad s.a.w. dengan segala kerendahan hati izinkan alfaqir mengijazahkan suatu amalan yg insya Allah berguna untuk segala macam hajat.. Salah satunya yang pernah alfaqir alami dan rasakan yaitu kemudahan rizki.. Amalan ini cukup singkat namun dibaca berulang2. diijazahkan secara umum kepada para jama'ah dan hadirin oleh al 'Allamah al 'Arif billah Al Walid al Habib Ali bin Sayyidil walid al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdulqadir Asseggaf - Tebet Jakarta beberapa tahun lalu pada sebuah acara maulid akbar...

Amalannya yaitu:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ

Ya Hayyu Ya Qoyyum 1000x dibaca setiap harinya..

Insya Allah amalan ini  tidak bentrok dengan amalan riyadhoh dan keilmuan apapun..

Tata Cara Pengamalalnnya:

Bisa dibaca dengan cara 'dicicil' seperti setiap ba'da sholat fardhu 200x,,dll...Dan bisa juga dalam satu majlis/sekali duduk ba'da sholat malam/sholat hajat..

Silahkan diamalkan semoga menjadi amal jariyah untuk kita semua dan saya izinkan pula diijazahkan kepada saudara2 dan sanak kerabat lain untuk menyambung amal jariyah sang mu'jiz dan kita semua...

Tanpa diawali dengan tawassul bisa.. Namun jika ingin diawali dengan tawassul maka ini lebih baik..

Bagi yang ingin mengawalinya dengan tawassul silakan sebagaimana tawassul kirim2 alfatehah pada umumnya..

Dan bisa ditutup dengan do'a yang menjadi hajat kita… Doa yang dibaca bisa doa apa saja yang berisis hajat kita.

Amalkanlah amalan ini dengan ikhlas dan istiqomah, insya Allah fadhilah dari amalan ini akan anda rasakan. Tidak perlu berharap yang macam-macam,  apalagi jika anda baru beberapa kali mengamalkannya. Lakukan saja dengan khusyu dan ikhlas, maka manfaat itu akan datang sendrinya. 

Advertisement

Gabungan dari abah 22 Nov

Ada beberapa dzikir dan do’a yang menggunakan nama Allah Al-Hayyu Al-Qayyum.

 

Pertama, meminta dengan nama Allah yang agung Al-Hayyu Al-Qayyum dalam do’a

عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَالِسًا وَرَجُلٌ يُصَلِّى ثُمَّ دَعَا اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ.

فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « لَقَدْ دَعَا اللَّهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيمِ الَّذِى إِذَا دُعِىَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى »

Dari Anas, ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam keadaan duduk lantas ada seseorang yang shalat, kemudian ia berdo’a,

Allahumma inni as-aluka bi-anna lakal hamda, laa ilaha illa anta al-mannaan badii’us samaawaati wal ardh, yaa dzal jalali wal ikram, yaa hayyu yaa qayyum [artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu karena segala puji hanya untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, Yang Banyak Memberi Karunia, Yang Menciptakan langit dan bumi, Wahai Allah yang Maha Mulia dan Penuh Kemuliaan, Ya Hayyu Ya Qayyum –Yang Maha Hidup dan Tidak Bergantung pada Makhluk-Nya-].”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ia telah berdo’a pada Allah dengan nama yang agung di mana siapa yang berdo’a dengan nama tersebut, maka akan diijabahi. Dan jika diminta dengan nama tersebut, maka Allah akan beri.” (HR. Abu Daud no. 1495 dan An-Nasa’i no. 1301. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

 

Kedua, nama Allah Al-Hayyu Al-Qayyum dalam dzikir pagi petang

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Fatimah (puterinya), “Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya].” (HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 46, An-Nasa’i dalam Al-Kubra 381: 570, Al-Bazzar dalam musnadnya 4/ 25/ 3107, Al-Hakim 1: 545. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 227).

 

Ketiga, ketika dirundung duka

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ « يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ »

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dapat masalah berat, beliau membaca: Yaa Hayyu Yaa Qayyum, bi rahmatika as-taghiits [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan].” (HR. Tirmidzi no. 3524. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ada juga doa yang lafazhnya hampir mirip dengan lafazh di atas dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa orang yang dirundung duka: Allahumma rahmataka arjuu fa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin wa ash-lihlii sya’nii kullahu laa ilaha illa anta [artinya: Ya Allah, dengan rahmat-Mu, aku berharap, janganlah Engkau sandarkan urusanku pada diriku walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku seluruhnya, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau].” (HR. Abu Daud no. 5090, Ahmad 5: 42. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan karena mengingat adanya penguat).

Baca artikel Rumaysho.Com: Doa Ketika Dirundung Duka.

Selesai kajian nama Allah Al-Hayyu Al-Qayyum, moga manfaat.

 

Referensi:

Fiqh Al-Ad’iyyah wa Al-Adzkar. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badar. Penerbit Kunuz Isybiliya.

Kitab At-Tauhid fi Dhau’ Al-Qur’an wa As-Sunnah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdullah At-Tuwaijiri. Penerbit Dar Ashda’ Al-Mujtama’.

Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua belas, tahun 1431 H. Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani. Maktabah Al-Malik Fahd.

Zaad Al-Ma’ad fi Hadyi Khair Al-‘Ibad. Cetakan keempat, tahun 1425 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Selesai disusun menjelang Maghrib, 18 Dzulqa’dah 1436 H di Darush Sholihin, Panggang, GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans)Facebook Muhammad Abduh TuasikalTwitter @RumayshoComInstagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.

Sumber : https://rumaysho.com/11790-dzikir-dan-doa-dengan-ya-hayyu-ya-qayyum.html

Selasa, 04 Juli 2017

TINGKATAN ISLAM

MUSLIM, MUKMIN, MUKHSIN, MUKHLIS, MUTTAQIN

MUSLIM > MUKMIN > MUKHSIN > MUKHLIS > MUTTAQIN

1. MUSLIM

1.1. Muslim >>> Orang yang beragama Islam. Menunjukkan orang yang menyerah diri/tunduk kepada Allah swt.
Seorang manusia yang telah menerima dan mengikrarakan Islam sebagai agamanya dengan mengucapkan kalimah syahadah. Artinya, orang ini percaya sudah menerima segala kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang telah digariskan oleh Islam.

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Wahai Tuhan kami! Jadikanlah kami berdua: Orang-orang Islam (yang berserah diri) kepadaMu dan jadikanlah daripada keturunan kami: Umat Islam (yang berserah diri) kepadamu dan tunjukkanlah kepada kami syariat dan cara-cara ibadat kami dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima taubat, lagi Maha Mengasihani.” [al-Baqarah : 128].
MUSLIM, (akar katanya,Islam/salima artinya damai, selamat, sejahtera ) adalah orang baru menyerahkan diri saja kepada Allah, seperti anak sekolah TK, walaupun diberi pelajaran masih berbuat yang tidak baik , kita perhatikan saja anak anak yang sekolah TK, karena belum mengerti tujuab hidupnya, yah sekedar pengakuan saja.
( Surat : 7 ;172 ; 49 :14 )

2. MUKMIN

2.1. Mukmin >>> orang Islam yang beriman. Firman Allah swt :-
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itulah sebaik-baik makhluk.” [al-Bayyinah : 7]

Seorang Muslim tidaklah cukup dengan pengakuan itu saja, tetapi harus diiringi dengan amal/perbuatan/tindakan yang diperintahkan oleh agamanya. Dengan melaksanakan hal itu, dia meningkat menjadi seorang Mukmin.

MUKMIN ( akar kata Iman artinya percaya , Amanah artinya orang dapat diberi kepercayaan ), adalah orang mengatakan keimanan dengan lidah , diyakini dengan hati dan dikerjakan dengan perbuatan ( mengamalkan rukun Iman 6). In adalah tingkatan : SD. ( Q. 2 : 3, 4, 5 dan 6 ; Al-Anfal : 2 dan 3 ; S. 49 : 15 )

3. MUKHSIN

3.1. Muhsin >>> Orang Mukmin yang mencapai tahap Ihsan sebagai yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. didalam sebuag hadith yang panjang
Seorang Mukmin haruslah mengerjakan perbuatan kebajikan yang disebut ihsan. Ihsan itu meliputi segala perbuatan yang baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dari seorang Mukmin meningkat lagi menjadi seorang Muhsin.

ما الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Apa itu Ihsan, Dia menjawab : Kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatnya, dan jika kamu tidak melihatnya, ketahuilah bahawa Dia (Allah) melihat kamu [Hadith Riwayat Bukhari]
MUKHSIN ( dari kata , Ikhsan artinya : baik )adalah orang tingkatan Muslim + Mukmin, artinya orang tersebut tidak beriman saja , tapi sebagaimana Hadits Nabi SAW, yaitu : “Dia beribadah kepada Allah seakan akan melihat-Nya, tapi apabila dia tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat dia.”
Ini adalah tingkatan : SLTP. ( Q. 3 : 134 ; S. Al- Qoshosh :77 )

4. MUKHLIS

4.1. Mukhlis
Seorang Muhsin mengerjakan ihsan itu semata-mata karena berbakti kepada Tuhan, bukan karena mengharapkan pujian, sanjungan, pangkat dan lain-lain; akan tetapi sungguh-sungguh ikhlas, saat itu manusia meningkat menjadi seorang Mukhlis.
MUKHLISH (dari Ikhlas ,.. dst ) adalah orang beribadah kepada Allah, hanya mengaharapkan ridho-Nya, contoh seperti orang besedekah dengan tangan kanannya, maka tangan kirinyapun tidak. Ilutrasi lainya : Seperti orang buang air besar , setelah keluar yah.. sudah, tidak pikirkan/ di ingat-ingat, Ah… sayang ,tadi makan adalah yang enak-enak. Surat: 98:5. Ini adalah tingkatan : SLTA

5. MUTTAQIN

5.1. MUTTAQIN

Muttaqin >>> Orang Mukmin yang bertaqwa. Firman Allah swt :

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.

“Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya (tentang datangnya dari Allah dan tentang sempurnanya); ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertakwa; Iaitu orang-orang yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib dan mendirikan (mengerjakan) sembahyang serta membelanjakan (mendermakan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” [al-Baqarah : 2-3]

( akar kata taqwa : takut ), secara istilah adalah : adalah orang melaksanakan perintah Allah secara sempurna, dan menjauhkan perintah Allah.Did alam Al-Qur’an banyak sekali ayat ayat yang menjelaskan sifat orang bertaqwa, antara lain Surat: ( Al-Baqoroh)2 : 2,3,4 , 5, 177, 183 ;(Al-Imron) 3: 133, 134, 135 dan 135 dll..

Dan banyak sifat sifat lainnya yang paling Istimewa, pantas kalau Allah SWT
menyebutnya ORANG YANG PARIPURNA”( ISLAM KAAFFAH). Ini adalah tingkatan :

Rabu, 28 Juni 2017

Resep rosululloh meluluhkan kerasnya hati

Pernahkah Anda terbukti bersalah namun sukar sekali mengeluarkan minta maaf? Alasannya: orang yang dimintai maaf lebih muda dari kita, lebih miskin dari kita, atau status jabatannya lebih rendah dari kita. Jika kita penah mengalami demikian atau menyaksikan orang yang berperilaku begitu, yang bersangkutan sesungguhnya telah mengidap penyakit hati yang keras.

Surat Al-Baqarah ayat 67-74 mengambarkan kondisi penyakit tersebut ketika mengisahkan tentang Bani Israil. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang sulit menerima kebenaran meskipun bukti nyata telah hadir di depan mata. Hati mereka mengeras seperti batu, bahkan bisa lebih keras lagi.

Penyakit ini susah disembuhkan karena yang mesti dihadapi penderitanya adalah dirinya sendiri. Egoisme, gengsi, atau perasaan paling istimewa, biasanya menjadi biang keladi mengapa hati seseorang membatu sehingga sukar dimasuki kebenaran dan kebaikan yang datang dari luar dirinya. Namun, susah disembuhkan bukan berarti tidak bisa diobati. 

Suatu hari seorang laki-laki datang mengadu kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang hatinya yang keras (qaswatul qalb). Nabi menjawab:

إن أردت تلين قلبك، فأطعم المسكين، وامسح رأس اليتيم

Artinya: “Jika kamu ingin melunakkan hatimu maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah menganjurkan orag yang keras hatinya untuk melatih diri berempati dengan orang-orang lemah. Empati tersebut diwujudkan salah satunya dengan memberi makan orang miskin.

Makan adalah di antara kebutuhan primer (hâjiyât) setiap manusia. Penghasilan orang miskin sering hanya bisa mencukupi keperluan pokok tersebut tanpa bisa menambah kebutuhan sekunder lainnya. Lebih dari miskin disebut faqîr. Keduanya merupakan kelompok rentan yang sama-sama membutuhkan uluran tangan.

Ibnu Rajab al-Hanbali saat menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa bergaul dengan orang-orang miskin dapat meningkatkan rasa ridha dan syukur seorang hamba atas nikmat yang dikaruniakan oleh Allah. Sebaliknya, bergaul dengan orang kaya potensial membuatnya kurang menghargai rizeki yang diterimanya.

Selanjutnya adalah mengusap kepala anak yatim. Kata “mengusap” di sini merupakan kiasan dari anjuran untuk menyayangi, berlemah lembut, dan mengayomi mereka. Tentang hal ini, Nabi bersabda:

من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحه إلا لله ، كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنات ، ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده ، كنت أنا وهو في الجنة كهاتين ، وقرن بين أصبعيه

“Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan hanya karena Allah, baginya setiap rambut yang diusap dengan tangannya itu mengalirkan banyak kebaikan, dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, aku bersama dia di surga seperti ini (Nabi menyejajarkan dua jarinya).”

Dalam hadits itu, Allah memberikan kebaikan kepada orang-orang yang mengusap kepala anak yatim. Jumlah rambut di hadits ini merupakan ilustrasi dari kebaikan yang tak terhitung sebagaimana tak terhitungnya jumlah rambut kepala orang. Artinya, sebanyak apa kebaikan seseorang kepada anak yatim, sebesar itu pula Allah berikan kebaikan kepadanya. Inilah mengapa hati yang keras menjadi mudah melunak, terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan. Sebab, Sang Penguasa Hati sedang berada di pihaknya. Wallah a’lam. 

Selasa, 27 Juni 2017

Kisah imam besat

Majelis Adl Dliyaaul Laami 'Jombang

IMAM Fakhruddin al-ARSABANDI dari ta'limul mutaalim 
KAROMAH BISA DIPEROLEH DENGAN CARA MEMULYAKAN GURU 
--------- 
tersebutlah seorang ulama yang disegani bahkan oleh penguasa ketika itu. Ini adalah Fakhruddin al-Arsabandi. Dalam ketenarannya, ia mengungkap sebuah rahasia atas rahmat Allah yang luar biasa didapatkannya. "Aku mendapatkan posisi yang mulia ini karena melayani (melayani) guruku," ujar sang Imam. 
Ia menuturkan, layanan yang dia berikan kepada gurunya sungguh luar biasa. Gurunya Imam Abu Zaid ad-Dabbusi benar-benar dilayaninya bak seorang budak kepada majikan. Ia pernah memasakkan makanan untuk gurunya selama 30 tahun tanpa sedikit pun mencicipi makanan yang disajikannya. 
Begitulah cara orang-orang terdahulu mendapatkan keberkahan ilmu dari memuliakan gurunya. Mencintai ilmu berarti mencintai orang yang menjadi sumber ilmu. Menghormati ilmu berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu. Itulah guru. Tanpa pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa didapatkan oleh si murid. 
Dalam literatur pendidikan Islam, jelas terpampang bahwa pelajaran pertama yang diterima seorang murid adalah bab Adabu Mu'allim wa Muta'allim (adab antara guru dan murid). Dari kitab manapun, harus belajar dimulai dari bab ini. Si murid harus dipahamkan, dari siapa ia menerima ilmu karena dalam pembelajaran ilmu-ilmu Islam sangat memperhatikan sanad (validitas). 
Berbeda dengan sesuatu yang bersifat nasihat. Saran tak perlu memandang dari mulut siapa keluarnya nasihat itu. Berlakulah di sana pepatah Arab, unzur ma Qala wala tanzur man Qala (lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakannya).Namun, bagi ilmu-ilmu Islam sejenis tafsir, hadis, akidah, dan cabang ilmu sejenisnya, perlu diperhatikan dari siapa si murid menerimanya. Inilah yang dipesankan Muhammad bin Sirin, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu." 
Fakhruddin al-Arsabandi benar-benar memperhatikan sang guru sebagai tempat ia mengambil ilmu. Ia tak ubahnya seperti budak di hadapan gurunya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib RA yang pernah mengatakan, "Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya." 
Ali RA mencontohkan, sekecil apa pun ilmu yang didapat dari seorang guru tak bisa diremehkan. Imam Syafi'i pernah membuat rekannya terkagum-kagum karena tiba-tiba saja ia mencium tangan dan memeluk seorang pria tua. Para sahabatnya bertanya-tanya,"Mengapa seorang imam besar mau mencium tangan seorang laki-laki tua? Padahal masih banyak ulama yang lebih cepat dicium tangannya dari dia?" 
Imam Syafi'i menjawab, "Dulu aku pernah bertanya padanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia baligh? Orang tua itu menjawab," Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan mengangkat sebelah kakinya, ia telah baligh. " 
Hanya ilmu itu yang didapat Imam Syafi'i dari orang tua itu. Namun, sang Imam tak pernah lupa akan secuil ilmu yang ia dapatkan. Baginya, orang tua itu adalah guru yang patut dihormati. Sikap tersebut pulalah yang menjadi salah satu faktor yang mengantarkan seorang Syafi'i menjadi imam besar. 
Lantas seperti apakah penghormatan para siswa saat ini kepada guru mereka? Petuah ilmu yang diberikan guru hanya bak angin lalu. guru tak perlu didengarkan atau dituruti. Take it, or leave it. tak masalah jika tak menuruti perintah dari guru. Ibarat kata pepatah , "Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu." 
Mengapa para guru dipandang sedemikian rendah oleh anak bangsa saat ini? Mungkin, mereka tidak merasakan kebermanfaatan ilmu yang mereka pelajari. Atau, model pembelajaran yang tidak dimulai dari bab Adabu Mu'allim wa Muta'allim. Atau kesalahan juga ada pada guru yang punya orientasi materi. Ilmu hanya sebatas seremonial dan dihargai dengan uang. Semua bercampur aduk kemudian melahirkan sebuah model pendidikan yang rusak. 
Guru pada umumnya tidak meminta untuk dihormati oleh si murid. Namun, orang yang sadar bahwa dirinya seorang muridlah yang harusnya tahu diri untuk menghormati gurunya. Si murid harus memahami, tak ada kesuksesan yang ia raih tanpa ada peran seorang guru. Ia tak akan mampu melakukan apa pun, jika gurunya tak mengajarinya membaca. Ia pasti akan jauh dengan agama, jika gurunya tak mengenalkannya dengan karakter Alquran. 
Membalas kebaikan guru merupakan suatu kewajiban bagi murid. Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, "Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (QS al-Qashash [22]: 77). Seorang murid harus berpikir, ilmu yang bermanfaat yang diajarkan guru merupakan pahala yang tak pernah putus di sisi Allah. Ia akan terus mengalir kepada si guru selama ilmu tersebut terus diajarkan dan diamalkan. Itulah kewajiban si murid untuk mengembangkannya dan kemudian mengamalkannya. Agar si guru yang pernah mengajarkannya mendapatkan ganjaran pahala yang terus mengalir di sisi Allah ..

Sahabat Nabi SAW Paling Tampan

DIHYAH BIN KHALIFAH AL-KALBI RADHIYALLAHU ANHU, MALAIKAT JIBRIL MENJELMA DALAM RUPANYA

‘Awwanah bin al-Hakam berkata: “Manusia yang paling tampan rupanya, ialah seseorang yang Malaikat Jibril Alaihissallam datang dalam bentuk rupanya. Yakni Dihya.”[1]

Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu adalah salah satu di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lama masuk Islam. Beliau masuk Islam sebelum perang Badar. Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau belum sempat mengikutinya. Baru, setelah peperangan itu, beliau tidak pernah absen dalam jihad di medan peperangan.[2]

Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah yang masyhur. Dia dikaruniani Allah berupa keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya. Di antara keutamaan yang beliau miliki, yaitu Malaikat Jibril Alahissallamseringkali datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya. Imam an-Nasaa`i meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Yahya bin Ya’mur rahimahullah dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

كَانَ جِبْرَائِيْلُ يَأْتِيْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيْ صُوْرَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.

Malaikat Jibril Alaihissallammendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam rupa Dihyah al-Kalbi.

Dalam hadits lain disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ عُرِضَ عَلَيَّ الْأَنْبِيَاءُ فَإِذَا مُوسَى ضَرْبٌ مِنْ الرِّجَالِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَرَأَيْتُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ وَرَأَيْتُ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا دَحْيَةُ ((مسلم الإسراء برسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ 1/395))

Dari Jâbir Radhiyallahu anhubahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Telah diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa Alaihissallamadalah seorang laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanû’ah. Dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissallam dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat, adalah Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrâhîm Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri beliau sendiri– dan aku pun melihat Jibril Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah”. [HR Muslim].

عن أَبي عُثْمَانَ قَالَ أُنْبِئْتُ أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَعِنْدَهُ أُمُّ سَلَمَةَ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِأُمِّ سَلَمَةَ مَنْ هَذَا أَوْ كَمَا قَالَ قَالَ قَالَتْ هَذَا دِحْيَةُ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ ايْمُ اللَّهِ مَا حَسِبْتُهُ إِلَّا إِيَّاهُ حَتَّى سَمِعْتُ خُطْبَةَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُخْبِرُ جِبْرِيلَ أَوْ كَمَا قَال. ((صحيح البخاري باب علامات النبوة في الإسلام كتاب المناقب 3362))

Dari Abu ‘Utsman, ia berkata: “Telah diberitakan kepadaku bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ummu Salamah sedang bersama beliau. Maka, dia pun berbicara lantas berdiri, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada Ummu Salamah: ‘Siapakah ini?’ – atau seperti ucapan beliau – lantas Ummu Salamah pun berkata: ‘Ini adalah Dihyah’. Ummu Salamah berkata: ‘Demi Allah, sungguh aku mengira, ia adalah Dihyah, sampai aku mendengar khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan bahwa dia adalah Malaikat Jibril Alaihissallam‘.”[3]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat seruan memeluk Islam kepada para raja, kisra dan kaisar, yaitu pada akhir tahun ke enam hijriah, Dihyah termasuk salah satu delegasi yang ditugaskan. Adapun tugas yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dihyah, yaitu agar ia menyampaikan surat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hiraklius kaisar Romawi.

Dalam satu riwayat disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى قَيْصَرَ يَدْعُوهُ إِلَى الْإِسْلَامِ وَبَعَثَ بِكِتَابِهِ إِلَيْهِ مَعَ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ وَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى لِيَدْفَعَهُ إِلَى قَيْصَرَ ((صحيح البخاري كتاب الجهاد والسير باب دعاء النبي الناس إلى الإسلام))

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada kaisar untuk mengajaknya masuk Islam. Beliau pun mengutus Dihyah al-Kalbi untuk menyampaikan suratnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemintanya supaya menyerahkan surat tersebut kepada penguasa kota Bushra, agar ia menyampaikannya kepada kaisar.[4]

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar – dan Dihyah mendapatkan hadiah yang banyak dari kaisar – ketika ia telah sampai di daerah Hisma, ia dihadang oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka.[5]

Demikian, sekilas kisah Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu. Pada masa hidupnya, beliau tinggal di daerah Mizzah di Damaskus, dan beliau hidup hingga sampai masa kekhilafahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Semoga keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa tercurahkan pada sahabat yang mulia ini. (Ustadz Ahmad Danil).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al-Ishâbah, Ibnu Hajar, hlm. 371. no 2474.
[2]. Thabaqât, Ibni Sa’ad, 4/249.
[3]. Shahîh al-Bukhâri, kitab al-Manâqib, Baab: ‘Alâmâtin-Nubuwwah fil-Islâm.
[4]. Shahîh al-Bukhâri, kitab al-Jihâd was-Siyar, Bab: Du’â’in-Nabiyyi an-Nâsa ilal Islâm.
[5]. Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir, 6/242.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3796-dihyah-bin-khalifah-al-kalbi-radhiyallahu-anhu-malaikat-jibril-menjelma-dalam-rupanya.html

Pembantu Kecil Rosululloh Anas bin Malik

Kisah Pelayan Rasulullah, Anas bin Malik

Nama lengkapnya Anas bin Malik bin an-Nadar bin Damdan bi Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir binKhanam bin Adi bin Najar al-Khazraji al-Ansari Abu Hamzah al-Madani. Anas bin Malik termasuk kedalam golongan sahabat meskipun saat Rasulullah saw. hidup dia masih muda belia. Ketika Rasulullah saw. bearada di Madina, Anas bin Malik bertugas sebagai pembantu (khadim) Nabi SAW, oleh karena itu orang memanggilnya dengan khadim Rasul; Anas sendiri bangga dengan panggilan itu. [1]

Riwayat yang menjelaskan bagaimana Anas bisa menempati posisi sebagai khadim Rasul adalah ketika Rasul SAW hijrah ke Madinah dan menetap disana; Ibunda Anas, Ummu Sulaim al-Ansariyah (dari Anshar), kepada Rasulullah SAW di kala ia datang dari Mekah setelah perintah hijrah dari Allah SWT. Penduduk Madinah saat itu benar-benar menyambut kedatangan Rasulullah SAW., Termasuk Anas yang masih kecil dan Ibunya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim telah menanamkan di hati buah hatinya rasa cinta terhadap Rasulullah SAW., Sehingaa dia tidak sabar untuk bertemu Rasulullah SAW.

Ayah Anas sempat menentang Ummu Sulaim memeluk agama Islam, namun tentangan dari ayah Anas tidak menggentarkan sedikitpun hati Ummu Sulaim dalam memeluk Islam sebagai sebuah kepercayaan yang mencerahkan peradaban manusia kala itu, agama samawi yang diajarkan Muhammad Rasulullah SAW. Ayah Anas dikabarkan meninggal dalam sebuah perselisihan ketika dia sedang berada di luar rumah, sehingga akhirnya Anas hidup sebagai seorang yatim.

Akhirnya tiba saat hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah. Mendengar hal ini Anas dan Ummu Sulaim sangat bahagia seperti halnya apa yang dirasakan oleh penduduk Madinah lainnya yang telah memeluk Islam. Katika Rasulullah tiba di Madinah, penduduk berbondong-bondong menyambut beliau. Mereka memberikan hadiah kepada Rasulullah, sampai akhirnya sampailah giliran Anas dan Ummu Sulaim bertemu dengan beliau.

Ummu Sulaim berkata, "Ya Rasulullah, orang-orang Ansar baik pria maupun perempuan telah memberikan hadiahnya kepada tuan. Tapi saya tidak memiliki apa-apa untuk kado tuan kecuali anak saya ini. Maka ambillah dia melayani tuan untuk membantu apa yang tuan maukan. "Rasulullah SAW. pun menerima hadiah Ummu Sulaim dengan senang hati.

Dalam rumah Rasulullah SAW inilah Anas belajar dan menangkap perilaku Rasulullah SAW yang mulia. Anas menyaksikan perilaku Rasulullah SAW dan berinteraksi secara langsung dengannya. Hampir segala perilaku atau sikap Rasulullah SAW diperhatikan dan kemudian dipraktekkan olehnya. Abu Hurairah berkata, "Saya belum pernah melihat orang yang menyerupai sholatnya Rasulullah kecuali Ibn Ummu Sulaim (maksudnya Anas). Sealain itu, Ibnu Sirin berkata, "Anas adalah sahabat yang shalatnya paling bagus, baik di rumah maupun pada waktu Safar."

Anas bin Malik menyaksikan secara langsung bagaimana mulianya akhlak Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Anas pernah mengatakan, "Saya melayani Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Tidak pernah sekalipun Rasulullah SAW berkata: "Mengapa kamu buat begitu ..." jika saya melakukan sesuatu. Bila saya tidak melakukan sesuatu hal, Baginda tidak pernah beberkata: "Mengapa kamu tidak melakukannya ..." 
Menurut riwayat Abbu Bakar bin muhammad bin muslim Ubaidillah bin Andullah bin Syihal al-Qurasyi Az- Zuhri (51 H \ 670 M-124 H \ 742 M ), seorang ahli hadist, Anas bin Malik sendiri yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, Anas berusia sepuluh tahun, dan ketika Rasulullah saw. wafat, usia Anas sudah mencapai dua puluh tahun. Ia di kenal dekat dengan Rasulullah saw. dan karenanya tidak mengherankan jika Anas memperoleh banyak kesempatan untuk menerima hadis dari Rasulullah saw. Selain itu, ia juga meriwayatkan sejumlah hadis dari para sahabat nabi, saperti Abu Bakar ra., Umar ra., Utsman ra, Ali ra., Dan lain-lain.

Dalam hal meriwayatkan hadis, Anas bin Malik menempati urutan ketiga dalam kelompok sahabat. Orang yang meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik antara lain Ibnu Sirin, Abu Qatadah, dan Hasan Basri.

Anas sendiri termasuk sahabat yang kuat hafalannya dengan urutan sebagai berikut: 
1. Abu Hurairah 
2. Abdullah bin Umar bin Khattab 
3. Anas bin Malik 
4. Aisyah binti Umar Bakar 
5. Abdullah bin Abbas 
6. Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 74 H / 698 M) 
7. Abu Sa'id al Khudri (w. 84 H)

Anas bin Malik sudah pandai menulis ketika diserahkan ibunya kepada Nabi SAW, sehingga ia banyak menulis hadits. Dengan menurut riwayat yang di peroleh dari yasir Abdul Wahhab bin Hibbatullah dari Abdullahbin Ahmad dari Yazid Humahid at- Tawil Anas bin Malik. 
Ada berbagai versi riwayat tentang lamanya Anas melayani Rasullulah SAW. Riwayat dari Isla'il bin Ubaidullah, dari Abi Isa dari Mahmud bin Gilan, dari Abu Dawud, dari Abu Khaldat, mengatakan bahwa Anas bin Malik mengabdi kapada Rasullulah SAW selama 10 tahun. Riwayat lain menyebutkan bahwa melayani Rasullulah SAW selama 8 tahun, dan ada pula yang mengatakan 7 tahun.

Rasullulah SAW sangat besar perhatiannya kepada Anas dan Malik. 
Riwayat dari Ja'far al-Faryabi, dari Ibrahim bin Usman, dari Mukhalid bin Hasan, dari Hisyam bin Hasan, dari Hafsah, dari Anas sendiri, menceritakan bahwa ketika ibu Anas Ummu Sulaim al-Ansyariah menyerahkan anaknya kepada Raulullah SAW, ia mengharapkan agar Rasul berkenan mendoakan anaknya. Rasulullah mengabulkan permintaan itu, seraya memanjatkan doa, "Allahumma aksir malahu wa waladuhu wa adkilhu al-jannat," artinya, "Ya Allah, limpahkan harta dan anak keturunan yang banyak kepadanya (Anas) dan masukkanlah dalam surga." 
Dalam riwayat lain, doa yang dibacakan Rasul adalah, "Allahumma aksir malahu wa waladuhu wa bariklahu fihi" artinya, "Ya Allah limpahkanlah harta dan anak keturunan yang banyak kepadanya (Anas) dan berkatilah ia dengan harta dan anaknya itu."

Sebagai seorang pelayan Rasul SAW, Anas bin Malik sering menemani Rasulullah SAW ke medan perang. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Musa dari Ishaq bin Ustman yang pernah menanyakan kepada anaknya, Musa bin Anas, katanya, "Berapa kali Anas mengikuti (peperangan) yang dipimpin Rasul?" Musa bin Anas menjawab bahwa perang yang diikuti Anas bersama Rasulullah SAW sebanyak delapan kali. 
Rasulullah SAW sangat menyayangi Anas bin Malik, ia bahkan memanggil Anas dengan pangilan kasih sayang, Unais (yang dalam bahasa Arab berarti suatu pengakuan pribadi-Anasku). Terkadang ia juga memanggil: Anakku.

Rasulullah sering memberikat nasihat-nasihat kepadanya. Seperti nasihatnya kepada Anas berikut ini, "Anakku, bila kau mampu berada di pagi dan sore hari tanpa ada dengki di hatimu pada siapapun, maka lakukanla! Anakku, yang demikian adalah termasuk sunnahku. Barangsiapa menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku. Barangsiapa mencintaiku, maka ia akan berada di surga bersamaku. Anakku, jika kau masuk ke dalam rumah, ucapkanlah salam karena itu akan membawa keberkahan bagimu dan juga bagi penghuni rumahmu. " 
Berkat dekatnya Anas dengan Rasululah dan doa beliau yang dikabulkan Allah, Anas memperoleh keberuntungan karena ia diberitakan memiliki dua bidang kebun yang subur yang dapat di panen dua kali dalam setahun.

Berkat doa Rasulullah pula, Allah juga memberikan nikmat lain kepada Anas berupa anak keturunan yang banyak. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Anas memiliki cucu sebanyak 115 orang. Riwayat lain menyebutkan bahwa Anas dikaruniai anak sebanyak 82 orang, terdiri atas 80 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.

Namun, tidak diperoleh data yang pasti tentang ibu para anaknya yang banyak itu, apakah Anas memiliki istri yang banyak atau sering kali menikah. Namun, yang pasti, kekayaan dan keturunan yang banyak itu tidak menyebabkan ia lupa mengabdi kepada Tuhan. Ia tetap memperbanyak ibadahnya, seperti diungkapkan Abu Hurairah, "Saya tidak meyaksikan seseorang yang salatnya menyerupai salat Rasululah SAW, kecuali putra Ummu Sulaim (Anas)."

Anas memiliki seorang putra yang terkenal dalam studi hadis dan hukum Islam, yakni Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki di Madinah. Sama seperti ayahnya, Malik bin Anas juga berkecimpung di dunia hadis. Salah satu karyanya adalah al-Muwattha '.

Riwayat lain menggambarkan bahwa Anas bin Malik ibadahnya baik. Riwayat lain disampaikan oleh Ja'far dari Sabit yang menceritakan secara singkat tentang keuntungan dari Anas bin Malik. Pada suatu ketika di musim kemarau, Sabit tengah bersama Anas, tiba-tiba seorang pembantu Anas menghampiri mereka dan berkata, "Hai Abu Hamzah (gelar bagi Anas), betapa kering bumi kita." Anas bin Malik segera berwudhu, kemudian shalat dua rakaat dan berdoa ke hadirat Allah. Tidak lama sesudah itu, konon publik hitam muncul di langit, lalu hujan pun turun. Setelah hujan reda, Anas mengajak para kerabatnya untuk menyaksikan langit yang sudah terang dan mengamati tanah yang sudah lembab disiram air hujan.

Anas memiliki favorit memanah, dan ia sering pergi memanah bersama anak-anaknya. Anas banyak menempatkan bidikannya pada sasaran yang tepat. Kelebihan-kelebihan yang ada pada Anas ini membuat orang hormat kepadanya. 
Di bidang pemerintahan, Anas termasuk orang yang terpandang. Ia pernah mendapat kehormatan untuk mengurusi administrasi daerah Bahrain. Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, Anas yang usianya relatif masih muda dipilih menjadi petugas di sana. Berkat kerja keras dan kecakapannya dalam soal tulis-menulis (administrasi), Anas dapat mengelola daerah Bahrain dengan sebaik-baiknya.

Anas wafat di kota Basra dan ia merupakan sahabat terakhir yang meninggal di sana. Ia dimakamkan di At-Taffi, suatu tempat yang dihormati bangsa Arab di Irak yang terletak di sekitar 15 km dari Basra. Tidak diketahui secara pasti tahun wafat Anas dan berapa usianya yang sesungguhnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa usia Anas adalah 107 tujuh tahun, sementara riwayat lain menyebutkan 95 tahun. Ada pula riwayat yang menyebutkan 91 tahun, 92, dan 93 tahun.

Saat terakhir sakit, dia berpesan kepada keluarganya, "Ajarkan aku kalimat La ilaha illahu, Muhammadun Rasulullah." Dia terus mengucapkan kalimat tersebut sampai pada akhirnya dia meninggal dunia.

Saat wafatnya Anas, Muwarriq mengatakan, "Telah hilang separuh ilmu. Jika ada orang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya, 'Marilah menghadap kepada orang yang pernah mendengar dari Rasululah SAW' "

Anas sebagai sahabat yang sangat mencintai Rasulullah sampai akhir hayatnya adalah salah satu sahabat yang patut kita teladani kesetiaannya. Anas senantiasa berkeinginan untuk berjumpa dengan Rasulullah saat di akhirat. Anas sering berkata, "Aku berharap bisa bertemu dengan Rasulullah Saw pada Hari Kiamat sehingga aku dapat berkata kepada beliau, 'Ya Rasulullah, inilah pembantu kecilmu, Unais.'" 
Anas Bin Malik dalam Ilmu Hadits

Anas adalah seorang sahabat yang keahliannya dalam bidang hadits tidak dipertanyakan lagi. Dalam kitab Mausu'ah fil Kutub at-tis'ah, tercatat Anas bin Malik meriwayatkan 4.964 hadis dengan perulangan yang tersebar di setiap kitab hadis yang 9: 
• Sahih Bukhari (829 hadis). 
• Sahih Muslim (485 hadis) 
• Sunan at-Tirmidzi (367 hadis). 
• Sunan Abi Daud. (255 hadis). 
• Sunan an-Nasa'i (367 hadis). 
• Sunan Ibni Majah. (280 hadis). 
• Musnah Ahmad (2189 hadis). 
• Muwattha '(35 hadis). 
• Sunan ad-Darimi (sisanya pada sunan ad-Darimi).

Sebagian dari hadits tersebut ia dapatkan langsung dari Rasulullah dan sebagian yang lain diriwayatkan dari sahabat lainnya. Anas pernah mengatakan, "Ambillah (Al Qur'an dan As Sunnah) dariku, karena saya mengambilnya langsung dari Rasulullah, dan Rasulullah dari Allah. Kamu tidak akan mendapatkan kabar yang lebih kuat, kecuali dariku ".

Referensi: 
http: //ibrahimstwo0@gmail.com 
http://www.ppnuruliman.com/.../147-anas-bin-malik-sang-pemban... 
http://id.wikipedia.org/wiki/Anas_bin_Malik
Bio Anas dalam Thabaqaat Ibn Sa'ad 7/10 dan Tahdzib 3/319

Kisah Ibnu Abbas kaitan Gus Nuril

Beliau adalah seorang SahabatNabi, dan merupakan anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman dari Rasulullah Muhammad saw. Dikenal juga dengan nama lain yaitu Ibnu Abbas (619 - Thaif, 687/68H). Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang berpengetahuan luas, dan banyak hadits shahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta beliau juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah.

Dia merupakan anak dari keluarga yang kaya dari perdagangan bernama Abbas bin Abdul-Muththalib, maka dari itu dia dipanggil Ibnu Abbas, anak dari Abbas. Ibu dari Ibnu Abbas adalah Ummu al-Fadl Lubaba, yang merupakan wanita kedua yang masuk Islam, melakukan hal yang sama dengan teman dekatnya Khadijah binti Khuwailid, istri Rasululah. Ayah dari Ibnu Abbas dan ayah dari Muhammad merupakan anak dari orang yang sama, Syaibah bin Hâsyim, lebih dikenal dengan nama Abdul-Muththalib. Ayah orang itu adalah Hasyim bin Abdul manaf, penerus dari Bani Hasyim klan dari Quraisy yang terkenal di Mekkah. Ibnu Abbas juga memiliki seorang saudara bernama Fadl bin Abbas.

1. Dialog Dengan Rasulullah

"Ya Ghulam, maukah kau mendengar beberapa kalimat yang sangat berguna?" tanya Rasulullah suatu ketika pada seorang pemuda kecil. "Jagalah (ajaran-ajaran) Allah, niscaya kamu akan mendapatkan-Nya selalu menjagamu. Jagalah (larangan-larangan) Allah, maka kamu akan mendapati-Nya selalu dekat di hadapanmu."

Pemuda kecil itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan perhatian pada setiap patah kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia itu. "Kenalilah Allah dalam sukamu, maka Allah akan mengenalimu dalam duka. Bila kamu meminta, mintalah kepada-Nya. Jika kamu butuh pertolongan, memohonlah kepada-Nya. Semua hal telah selesai ditulis."

Pemuda beruntung itu adalah Abdullah bin Abbas. Ibnu Abbas, begitu ia biasa dipanggil, dalam sehari itu ia menerima banyak ilmu. Bak kata pepatah, sekali dayung tiga empat pulau terlampaui, wejangan Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran akidah, ilmu dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan.

2. Kedekatannya dengan Rasulullah saw.

Keakraban dengan Rasulullah sejak kecil membuat Ibnu Abbas tumbuh menjadi seorang lelaki berkepribadian luar biasa. Keikhlasannya seluas padang pasir tempatnya tinggal. Keberanian dan gairah jihadnya sepanas sinar matahari gurun. Kasihnya seperti oase di tengah sahara.

Hidup bersama Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah.

Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan shalat. Ia segera mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya.

3. Faham Agama dan Tafsir Berkat Do'a Nabi saw.

Rasa bangga dan kagum menyatu dalam dada Rasulullah. Beliau menghampiri Ibnu Abbas, dan dengan lembut dielusnya kepala bocah belia itu. 

اللهم فقهه فى الذين و علمه في التأويل

(Allaahumma faqqihhu fid-diin- wa 'allimhu fit-ta'wiil)

"Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu." Demikian doa Rasulullah.

Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, 13 tahun umurnya. Semasa hidupnya, Rasulullah benar-benar akrab dengan mereka yang hampir seusia dengan Abdullah bin Abbas. Ada Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid dan sahabat-sahabat kecil lainnya.

Saat Rasulullah wafat, Ibnu Abbas benar-benar merasa kehilangan. Sosok yang menjadi panutannya, kini telah tiada. Walau demikian, ia tak mau berlama-lama tenggelam dalam kedukaan. Ibnu Abbas segera bangkit dari kedukaan. Meski Rasulullah telah berpulang, semangat jihad tak boleh berkurang. Maka ia pun mulai melakukan perburuan ilmu.

Didatanginya para sahabat senior. Ia bertanya pada mereka tentang apa saja yang perlu ditimbanya. Tak hanya itu, ia juga mengajak sahabat-sahabat yang seusia dengannya untuk belajar pula. Tapi sayang, tak banyak yang mengikuti jejak Ibnu Abbas. Mereka merasa tidak yakin, apakah para sahabat senior itu mau memerhatikan mereka yang masih anak-anak.

4. Gemar Memburu Ilmu

Walau demikian, Ibnu Abbas tak patah arang. Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke pintu lain, dari rumah-rumah para sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan rumah mereka, karena para sahabat tengah istirahat. Namun betapa terkejutnya mereka begitu melihat Ibnu Abbas tidur di depan pintu rumah.

"Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tidak kami saja yang menemuimu?" kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas di depan rumah mereka.

"Tidak, akulah yang mesti mendatangi anda," jawabnya.

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, hingga kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Karena tingginya dan tak berimbang dengan usianya, ada yang bertanya tentangnya. "Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?"

"Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir," demikian jawabnya.

Karena ketinggian ilmunya itulah, ia kerap menjadi kawan dan lawan diskusi para sahabat senior. Umar bin Al-Kathab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar karena keilmuannya. Sampai-sampai Amirul Mukminin kedua itu memberi julukan kepada Ibnu Abbas sebagai "pemuda tua". Doa Rasulullah yang meminta kepada Allah agar menjadikan Ibnu Abbas sebagai seorang yang mengerti perkara agama telah terwujud kiranya. Ibnu Abbas adalah tempat bertanya karena kegemarannya bertanya. Ibnu Abbas tempat mencari ilmu karena kegemarannya terhadap ilmu.

5. Pernah 2 Kali Melihat Jibril

Ibnu Abbas pernah melihat Malaikat Jibril dalam dua kesempatan, Ibnu Abbas berkata:

Aku bersama bapakku di sisi Rasulullah dan di samping Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Maka seakan-akan beliau berpaling dari bapakku. Kemudian kami beranjak dari sisi Rasulullah seraya bapakku berkata, Wahai anakku, tahukah engkau kenapa anak laki-laki pamanmu (Rasulullah) seperti berpaling (menghindari aku)? Maka aku menjawab, Wahai bapakku, sesungguhnya di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang      membisikinya. Ibnu Abbas berkata, Kemudian kami kembali ke hadapan Rasulullah lantas bapakku berkata, Ya Rasulullah aku berkata kepada Abdullah seperti ini dan seperti itu, kemudian Abdullah menceritakan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki di sampingmu yang berbisik-bisik kepadamu. Apakah benar memang ada seseorang di sampingmu? Rasulullah balik bertanya, Apakah engkau melihatnya ya Abdullah? Kami menjawab, Ya. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya ia adalah Jibril alaihiwassalam. Dialah yang menyibukkan kami dari kamu sekalian. [1]

Abbas mengutus Ibnu Abbas kepada Rasulullah dalam suatu keperluan, dan Ibnu Abbas menjumpai Rasulullah bersama seorang laki-laki. Maka tatkala ia kembali dan tidak bicara kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda: Engkau melihatnya ? Abdullah (Ibnu Abbas) menjawab, Ya, Rasulullah bersabda, Ia adalah Jibril. Iangatlah sesungguhnya ia tidak akan mati sehingga hilang pandangannya (buta) dan diberi (didatangkan ilmu). [2].

Ia pernah di doakan Nabi dua kali, saat didekap beliau dan saat ia melayani Rasulullah dengan mengambil air wudlu, Rasululah berdoa, Ya Allah fahamkanlah (faqihkanlah) ia. [3]. 

Di usianya yang ke-71 tahun, diriwayat lain 81 tahun Allah swt. memanggilnya. Saat itu umat Islam benar-benar kehilangan seorang dengan kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa. "Hari ini telah wafat ulama umat," kata Abu Hurairah menggambarkan rasa kehilangannya.  Ibnu Jubair menceritakan, bahwa Ibnu Abbas wafat di Thaif.

Semoga bermanfaat.

Ciri ciri Ulul Albab

Hanya satu nilai dasar, yang menjadi dasar pijakan universal untuk menentukan benar atau salah yaitu Allah, Allah adalah kebenaran maka kebenaran hanya datang dari Allah

Sabtu, 07 November 2009

Istilah Ulul Albab Dalam Al-Qur'an

Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, sejauh itu al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja.
Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam al-Qur’an adalah:

* Pertama, bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (al-Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama. "Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).

* Kedua, selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu. Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS, Al-Maidah, 100

* Ketiga, teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.

* Keempat, sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.

* Kelima ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.

* Keenam, tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena.

Terdapat juga informasi dalam Al-Qur'an mengenai hal ini dalam:
(QS, Ar-Rahman : 33 )
(QS, Az-Zumar : 18 )
(QS, Az-Zumar : 9 )

Senin, 26 Juni 2017

Gus nuril

Rahasia Di Balik Rahasia Ilmu Semesta

 18/11/2013 Admin

Sahabat Bilal bin Rabbah adalah bekas seorang budak hitam yang dibebaskan oleh Sayidina Abubakar dari bekas tuannya Muawiyah Abu Sofyan. Ketulusan hatinya dan keimanannya ternyata dia di mulyakan Allah disisi nabinya, jadilah suara emasnya menjadi keajaiban dunia. Ia konon Neil Amstrong saat di bulan sempat merubuhkan suara adzan yang demaikian mendayu dayu sehingga menggerakan hati sang astronot itu masuk Islam (?). Pagi itu dia gelisah, biasanya sebelum adzan di kumandangkan olehnya, dia sudah menemukan Rosul di Masjid Nabawi, sudah iktikaf dan solat beberapa kali. Namun kali ini adzan sudah hampir habis dia tidak menemukan sosok jungannya. Bahkan setelah selesai adzan subuhpun Rosul belum muncul untuk mengimami sholat berjamaah. Setelah ditunggu bersama sahabat yang lain seperti Sayidina Abu bakar,

Sang pemilik suara emas itu mengetuk beberapa kali rumah Rosul yang tidak begitu jauh dari Masjid Nabawi. Selang beberapa saat Rosul membukakan pintu dan terlihat wajah nabi yang basah dengan air mata dan sembab. Sahabat Bilal sangat khawatir karena melihat tandannya Nabi yang dimulyakan Allah ini pasti sudah menangis semalamam. "Ada apa ya Rosulullah" tanya Sang Bilal sangat khawatir, dia tidak pernah melihat Rosul berperilaku demikian, saat anak kesayangannya dan sahabat - sahabat yang dicintainya lahir sebagai syuhadapun belaiau tidak menangis berlebihan. Paling menitikan udara mata di pipi dan buru - buru di hapusnya.

Kemudian Rosulullah mengatakan: aku menerima wahyu yang berhubungan dengan ilmu dan alam ini wahai sahabat, dan atas kandungan wahyu itu bersama dahsyatnya, lalu Rosul membacakan wahyu itu: "Bismillahirohman nirrohim.Inna fi kholqis samawati wal ardhi, wah tilafi laili wan nahar, la ayati Li ulil albab Aladzina yadkurunallaha qiyaman wa ku udzan wa ala junubihim, wa yatafakaruna fi kholqis samawati wal ardhi.Robbana ma kholakta hadza bathila subkhanaka fakina adzaban narr "

Sayidiana Bilal, mendenagar wahyu yang diab buta Rosul masih belum mengerti, kenapa dengan wahyu ini buat sayang aja biasa - biasa saja. Yang di terjemahkan bebas kurang lebih bunyinya begini: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam, menjadi ayat dan tanda bagi hamba Aallah yang berpredikat ulil Albab (cerdas dan berilmu). Yaitu hamba yang senantiasa berfikir tentang dan ciptaan Tuhannya baik dalam keadaan baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun lembur. Lalu temukan hakekat dan ma'rifat itu serunya bibirnya mengucap "Sungguh segala ciptaan Mu Allah tidak ada yang sia sia". Lalu kesia - siaannya berfikir selama ini ditutup dengan doa Ya Roob ampuni dan lindungi aku dari api Neraka " 

Asror (Rahasia Ilmu)
Saudaraku, disini saya mulai mengenal Sayidina Abbas Paman Rosulullah, memohon kepada Rosul untuk didoakan agar mengenal sir dan asror nya ayat Al Qur'an. Maka dengan doa Allahuma faqih hu fi dieni wa alamahu ta'wila, dan dengan doa ini tidak seorangpun mushonef berani menulis buku tanpa bertanya kepada Sayidiana Abbas dan tidak ada seorang Mufasir berani menafsirkan Al Qur'an tanpa bertanya kepada beliau. Karena ternyata kandungan ayat - ayat Al Qur'an itu tidak bisa di jamah dengan artikulasi keilmuan biasa. Seseorang tidak mungkin mampu menafsirkan ayat Al Qur'an. Kandungan ilmu yang ada dalam Al Qur'an itu tidak akan mampu ditulis manusia, kendatipun menggunakan 7 benua sebagai kertasnya dan tujuh lautan samudera sebagai tintannya. Niscaya tidak akan mampu.

Membatasi tafsir akan ayat Allah ini dan terlalu membelenggu maknanya, hanya akan merendahkan kandungan Al Qur'an. Karena memang rahasia ayatnya hanya Nabi yang tercintalah yang mampu menafsirkannya. Karena memang Nabi adalah lagu berita, jadilah logos dan ketuhan dalam menyapaikan kalam - kalam sucinya. Sementara itu kita dan para ulama setelahnya, hanya bisa meraba dari tafsir yang ada dan menambah atau menyesuaikan dengan kondisi kekiniannya.

Selama banyak diperdebatkan oleh kalangan ulama yang memegang teguh atas tafsir nash - nash Al Qur'an berdasarkan tafsir kitab - kitab kuning (kuno) dan ada yang mencaba kembali membuka pintu istihaj. Dan harus mengaku semenjak dibangun dominasi Suni atas mu'tazilah perkemabangan ilmu tafsir di dunia Islam suka kemandegan. Kota - kota besar ke ilmuan seperti Basrah dan Iran serata Mesir bahkan jasirah Arab yang lain, yang dulu pernah menjadi imam - imam besar seperti Imam Malik, Imam Syafi'i atau Imam Ibnu Hambal dan Imam Ibnu Abu Hanifah menerapkan beku. Apalagi setelah dinasti abbasiyah dari kasulthanan Turki Othoman di hancur leburkan oleh Inggris dan Perancis atas bantuan anak kandung Khawarij, yang biasa dikenal denagan sebutan Wahabiyah.

Pengembaraan ilmu sebagaiamana yang dialakukan oleh Imam Syafi'i sudah jarang terjadi. Khasanah - khasanah madrasah ke ilmuan sebegaimana yang dibuka oleh Imam Abu Hanifah juga jarang muncul. Tulisan ini tidak atau belum membahas soal ini, pelaut untuk menuju proses ilmuan wahyu yang di turunkan Allah kepada Rosul, jadi sahabat Bilal heran melihat bekas air mata Nabi yang demikian menyiratkan dan tiada. Semoga kesepian dan kebahagiaan ini bisa diasingkan oleh kaum musrik. Muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad muhammad. Bahkan ditinggal oleh sang istri tercinta Siti Hadijah dan pamannya Abu Tholib, Rosul tidak menampakan wajah seperti itu.

Bagi Nabi "inna fi kholqis samawati wal ardhi" memiliki arti yang demikian dahsyat. Penciptaan bumi yang di kemukakan Allah ini kelak akan melahirkan ilmu bumi dan astronomi dan ilmu - ilmu yang lain, mulai pertambangan, pertanian sampai ilmu - ilmu yang belum terkuak waktu itu. Allah sudah menunjukkannya dalam bentuk kalam, tersirat dan tersurat bahkan rahasia - rahasianya. Betapa Allah mengemas bubur panas bumi dengan tingkat panas yang luar biasa itu dengan bumi yang berlapis - lapis sehingga tujuh lapisan di dinginkan dengan lautan yang hemat tujuh samudera diatasnya sehingga sedang pemanasan dari matahari yang menjadi poros bumi berputar, melahirkan uap yang nanti akan turun Hujan di bawahnya yang berisi tanah, yang dari sana menumbuhkan berbagai macam kebutuhan manusia. Dari tanah yang sama akan melahirkan bermacam buah - buahan. Mendinginkan tanah dan menumbuhkan kehaidupan bahkan dengan jelas Allah mempusakai dengan gunung - gunung, agar tidak goncang karena perputaran bumi itu sendiri dan kapan berputar mengitari Matahari. Subkhanallah

Minggu, 25 Juni 2017

Mengenal diri 3

J-3.Mengenal diri.

Mengenal diri adalah perbuatan sesuai dengan tuntutan dan ketetapan agama ( Dien al Islam ) :

RO16 :
Siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya ( hadis : Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu ) , hal ini sejalan dengan petunjuk QS Adz- Dzariyat 21 ” dan pada dirimu sendiri , apakah tiada kamu perhatikan”.

RO17 :
Perbuatan mengenal diri adalah dasar dari perjalanan diri dalam rangka mengenal Allloh sebagai mana tajuk “ Awwaludin ma’rifatulloh “ Awal agama mengenal Allloh .

RO18 :
Mengenal tuhan dan mengenal Allloh adalah tuntutan agama dalam rangka membenarkan dengan perbuatan atas perkataan kalimah tauhid “ La ilaha ilalloh “ ( tiada tuhan kecuali Allloh ).

RO19 :
Berkata tanpa didasari dengan perbuatan adalah perbuatan yang terlarang dalam agama Allloh :
( Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa – apa yang tiada kamu kerjakan )
QS Ash-Shaf : 3

Kalimah tauhid dan kalimah syahadah adalah kalimah sumpah yang harus selalu dipegang teguh dan diperbuat kebenarannya , sedangkan mengenal diri adalah upaya menjaga diri agar tidak tergoyahkan
dalam memegangi kalimah sumpah sendiri.
Mengenal diri ( NGAJI ) adalah upaya membuka diri untuk di teliti sendiri ( instrospeksi ) apa yang berada dalam diri .

R020 :
Mengenal diri ( ngaji ) adalah usaha mensukuri anugerah dan nikmat yang telah diberikan ilahi sebagaimana ditetapkan dalam kitabulloh :
“Dan(ingatlah juga), tatkala Tuhan-mu memaklumkan ,” Sesungguhnya jika kamu bersyukur , pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu , dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku , maka sesungguhnya Azab-Ku sangat Pedih” QS Ibrahim 7

Diantara Anugerah dan nikmat yang mudah dikenali tapi justru sering dilupakan orang banyak adalah :
Pertama Adanya Diri :
( tubuh lahiriyah & tubuh Bathiniyah )
Kedua adamya : Nafas atau asma’.

RO21:
KEADAAN DIRI :
Secara umum keadaan diri terdiri atas 2 ( dua ) keadaan yaitu :
a.Tubuh Luar ( Jasad ).
b.Tubuh Dalam ( Jisim )

Tubuh dalam ( software ) merupakan penggerak dari adanya tubuh luar ( hard ware ).

RO22 :
Rangkaian dasar software ( tubuh dalam ) adalah :
1. Kemauan disebut Iradat ( I )
2. Tenaga disebut Qudrat ( Q )
3. Perasaandisebut Hayat ( H )
4. Pengetahuan disebut Ilmu( Il )
5. Pendengaran disebut Sama ( S )
6. Penglihatan disebut Bashar ( B )
7. Perkataandisebut Kalam ( K )
Alamat aktivasi rangkaian dasar tersebut berada pada :
8. Akaldisebut Aqal ( A )
9. Hatidisebut Qalbu ( Q )

RO23 :
Secara hukum pada dasarnya kerja dari rangkaian dasar sistem software ( tubuh dalam) hanya tunduk pada Sang Maha Pencipta jadi haram jika software tunduk pada perintah hard ware ( tubuh luar ).

RO24 :
Rangkaian tubuh luar ( hard ware ).
1.Otot , syaraf , tulang , daging dan organ tubuh.
2.Darah , sparma dan cairan lainnya.
3.Udara / nafas,
4.Mata , telinga dan otak / fikiran.

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa tubuh luar atau jasad ini berasal dari “ sesuatu sari pati dari tanah “ yang lalu mencapai kesempurnaan bentuk setelah melalui proses yang panjang dalam pembentukannya menjadi mahluk atau manusia baru yang terlahir dari rahim ibu.

Dalam pergerakan dan pertumbuhannya jasad atau hardware ini secara alamiah selalu berhubungan dengan keadaan alam sebagaimana asal usulnya maka keadaan sari nabati atau gizi berperan aktip dalam proses pertumbuhannya.

SINGKRONISASI JASAD DAN JISIM :

RO25 :
Hubungan antara hardware ( Jasad ) dan Software ( Jisim ) telah ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta sebagai mana petunjuk berikut :

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”( QS. Jatsiyah 018 ).

Syariat berasal dari kata syaro’a yang berarti melihat atau mengetahui sedangkan agama atau ad dien adalah aturan tetap yang telah dibakukan bagi diri manusia , mengikut syariat berarti berada dalam aturan bahwa bekerjanya hardware ( jasad ) dalam ibadah harus berdasar pada keadaan software ( jisim ) alasannya adalah jisim tidak pernah tunduk pada dunia sedang jasad selalu berkiblat pada keduniaan.
Ini adalah cikal bakal hukum syariat , maka siapapun yang berbicara syariat kalau hadapan pandangan diri diawali dari melihat wujud dunia maka petuahnya tak perlu di-ikuti karena orang itu sesungguhnya tidak mengerti dasar hukum syariat
Maha benar Allloh dengan firmannya “…dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”( QS. Jatsiyah 018 ).

RO26 :
Singkronisasi jasad dengan jisim inilah yang sebenarnya disebut “ Manunggaling Kawula Gusti “ dimana jasad ( hardware ) yang nampak ini harus Manunggal dengan Jisim ( software ).
Sehingga dalam ber ibadah tidak terjadi tarik menarik kepentingan , jasad sebagai abdi dan jisim sebagai gusti yang memimpin harus tiada jarak antara karena jika terdapat jarak maka pasti akan terjadi banyak gangguan dalam amal ibadahnya.

RO27:
Seluruh rangkaian software manusia dalam keadaannya juga laisa kamislihi atau tan kena kinaya apa hal itu sebagai bentuk mewakili dari keadaan Sang Maha Suci dan Sang Maha Laisa kamislihi di dunia.

RO28:
Rumusan Singkronisasi Laisa kamislihi adalah :
Manunggalnya bentuk Jasad laisa kamislihi dengan Jisim laisa kamislihi.

RO29:
Jasad laisa kamislihi : adalah keadaan bentuk jasad yang sudah mencapai pengembalian bentuk pada ufuk dirinya sandiri.

RO30 : UFUK
Setiap mahluk di alam semesta ini masing masing memiliki ufuk termasuk juga manusia , pada diri manusia ufuk diri itu berdiri diatas ufuk nazhor dan ufuk badihi .
Ufuk nazhor adalah titik “ Thoha “ yang berada tepat ditengah kening , sedang Ufuk badihi itu berada pada titik “Yaa Sin” yang berada di pusat sentral otak belakang bagian kepala.

Mengetahui ufuk diri adalah kewajiban setiap insan agama terutama yang menghendaki terwujudnya nilai kafah dalam al Islam.

QS 41 Fushilat 053. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. …..

Mengenal diri imam al ghozali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad al-Ghazali dalam kitabnya Kîmiyâ’us Sa‘âdah mengatakan bahwa mengenal diri (ma‘rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah. Logikanya sederhana: diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah? Imam al-Ghazali juga mengutip hadits Rasulullah “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya).

Dalam Surat Fusshilat ayat 53 juga ditegaskan:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى؟ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.”

Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya. Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain. Lebih dalam dari itu semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri” adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar:

Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?

Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat kompleks. Butuh perenungan diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan tersebut. Jawabannya mungkin sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu kita resapi sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas kita.

Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,

Untuk mengenali diri sendiri, Imam al-Ghazali mengawali penjelasan dengan menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat: (1) sifat-sifat binatang (shifâtul bahâ’im), sifat-sifat setan (shifâtusy syayâthîn), sifat-sifat malaikat (shifâtul malâikah).

Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya. Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan bahkan memiliki ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak tersebut bersifat alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.

Yang kedua, sifat-sifat setan. Setan adalah representasi keburukan. Ia digambarkan selalu mengobarkan keja¬hatan, tipu daya, dan dusta. Demikian pula orang-orang yang memiliki sifat setan. Sementara yang ketiga, sifat-sifat malaikat berarti sifat-sifat yang senantiasa menerungi keindahan Allah, memuji-Nya, dan mentaati-Nya secara total.

Ringkasnya, kebahagiaan hewani adalah ketika ia kenyang, mampu memuaskan hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri—atau paling banter untuk keluarganya. Sedangkan kebahagiaan setan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri kian mendekat kepada Allah dan semua aktivitas merupakan cerminan dari kedekatan itu. 

Jama’ah shalat jum’at rahimakumullah,

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa diri manusia layaknya sebuah kerajaan yang terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai raja, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai pengumpul pajak, dan amarah sebagai polisi.

Syahwat memiliki karakter untuk menarik manfaat, kenikmatan, dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ia befungsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individu. Sementara amarah berfungsi melindungi dari berbagai ancaman atau mudarat, karenanya ia identik dengan karakter berani, cenderung kasar dan keras. Keduanya penting untuk kehidupan manusia. Dengan syahwat manusia tahu akan kebutuhan makan, misalnya; dengan amarah, ia mengerti akan perlunya membela diri ketika serangan mengancam. Namun syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di bawah raja.

Apabila syahwat dan amarah menguasai akal/nalar maka kerajaan terancam runtuh. Sebab susunan “kekuasaan” tak terjalan menurut kontrol seharusnya. Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat buruk seperti rakus atau tamak. Sementara amarah yang tak terkendali akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan semena-mena. 

Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati (qalb). Akal memang memiliki potensi yang istimewa: berpikir, berimajinasi, menghafal, dan lain-lain. Bila ia bertindak liar maka potensi akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat mungkin. Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang pintar yang gemar minterin (memperdaya) orang lain” maka itu tak lain akibat akal bertolak belakang dengan nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.

Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya perjuangan keras dalam olah rohani (mujâhadah) demi proses pembersihan jiwa atau tazkiyatun nafs. Jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang member petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkahnya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (muhajadah) untuk untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-'Ankabut: 69)

Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih banyak belajar mengenali diri sendiri, ketimbang menilai orang lain, untuk menggapai kebahagiaan hakiki.

Sumber: NU

Sabtu, 24 Juni 2017

Dari fb

JANGAN BERPALING DARI ALLAH

Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany
Berpaling dari Allah Azza wa Jalla ketika ketentuan TakdirNya turun, berarti pertanda matinya Agama, matinya Tauhid, matinya Tawakkal dan matinya ke-Ikhlasan. Sedangkan qalbu orang-orang mukmin tidak tahu, kenapa dan bagaimana sampai tidak tahu. Bahkan mengatakan, “Ya” (atas tindakan menyimpang itu, pen).

Nafsu itu, secara keseluruhan selalu kontra dan antagonis. Siapa yang ingin membaharui jiwanya, hendaknya ia memerangi nafsunya sehingga aman dari kejahatannya. Karena nafsu itu semuanya adalah buruk dalam keburukan. Bilamana anda telah memerangi, dan anda bisa tenang, maka seluruh jiwa anda akan meraih kebaikan dalam kebaikan. Sehingga anda selaras dalam seluruh kepatruhan kepada Allah dan meninggalkan seluruh kemaksiatan. Disinilah dikatakan dalam al-Qur’an:

“Wahai jiwa yang tenteram kembalilah kepada Tuhanmu dengan jiwa yang ridlo dan diridloi oleh Tuhan.”

Jiwa meraih keteguhan, dank arena itu telah sirna keburukannya. Jiwa tidak lagi bergantung pada makhluk mana pun. Benarlah jika hal ini dikaitkan dengan Nabiyullah Ibrahim as, dimana beliau telah keluar dari nafsunya dan abadi dengan tanpa hawa nafsu, sementara qalbunya tenteram, disaat itu berbagai ragam makhluk mendatanginya, menawarkan diri mereka masing-masing untuk membantunya. Lalu Ibrahim as, menegaskan, “Aku tidak ingin pertolongan kalian, karena KemahatahuanNya atas kondisiku sungguh telah cukup bagiku untuk permintaanku.” Maka ketika kepasrahan dan tawakkalnya benar, lalu, dikatakan pada api, “Jadilah dirimu dingin dan menyelamatkan pada Ibrahim.” Sebagai pertolongan dari Allah ta’ala Azza wa-Jalla bagi mereka yang sabar di dunia tanpa terhingga di dunia. Sedangkan kenikmatan di akhirat pun tanpa terhitung pula. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan ditunaikan pahalanya tanpa terhingga.”

Segala hal tidak akan pernah tersembunyi di Mata Allah, karena itulah hendaknya kalian bersabar bersama Allah sesaat saja, anda akan melihat hasilnya berupa kelembutan dan kenikmatan bertahun-tahun. Dan keberanian adalah sabar sesaat itu sendiri.

Allah bersama orang-orang yang sabar. Dengan pertolongan dan kebaikanNya, maka bersabarlah bersama Allah. Ingatlah selalu padaNya, dan jangan melupakanNya. Jangan sampai sampai anda baru sadar ketika maut sudah tiba, karena sadar pada saat setelah maut adalah tindakan sia-sia. Sadarlah sebelum anda menemuiNya. Sadarlah sebelum anda disadarkan oleh kejutan yang membuat anda menyesal, diwaktu sebuah penyesalan tidak ada artinya lagi. Perbaikilah hatimu, sebab jika hatimu baik seluruh dirimu dan perilakumu akan baik pula. Karena itu Nabi SAW bersabda, “Dalam diri manusia ada segumpal darah, manakala ia baik, akan baik seluruh tubuhnya, dan bila rusak, rusaklah perilaku jasadnya. Ingatlah, (Tidak lain) adalah Qalbu.”

Memperbaiki (mensalehkan) qalbu itu dengan ketaqwaan dan tawakkal pada Allah Ta’ala, mentauhidkanNya, dan ikhlas dalam beramal. Sebaliknya jika hal itu tidak dilakukan justru akan merusak qalbu. Qalbu ibarat burung yang terbang dalam sangkar, seperti mutiara dalam bejana, dan seperti harta dalam perbendaharaan. Ibarat ini memakai metafor burung bukan dengan sangkar, dengan mutiara, bukan dengan bejana, dengan harta, bukan dengan perbendaharaan.

Kamis, 22 Juni 2017

MENGHUKUMI SESEORANG

J28
Jawaban.
Untuk menjawab pertanyaan antum, kami akan menyampaikan beberapa kaidah dalam agama ini yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga permasalahannya dapat dipahami dengan baik.

Di antara kaidah yang kami maksudkan ialah :

Pertama : Menyikapi Manusia Menurut Zhahirnya.
Yaitu dengan berpedoman kepada lahiriyah orang tersebut. Jika secara lahiriyah seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, melaksanakan kewajiban shalat 5 kali sehari- semalam, berpuasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan lainnya, maka kita menyikapinya sebagai seorang muslim dan mukmin. Adapun isi hatinya kita serahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.

Allah berfirman.

فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ

Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. [At Taubah : 5].

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali berkata, “Ayat ini menjelaskan, barangsiapa bertaubat, lalu beriman kepada Allah dan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka darah dan hartanya terjaga, dan seseorang pun tidak pantas mengganggunya dengan membunuh atau mengepung. Hal itu meliputi orang yang melakukan dengan sebenarnya atau secara lahiriyah saja.” [1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ

Aku diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illa Allah, jika telah mengatakan laa ilaaha illa Allah, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya, sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah. Kemudian, beliau membaca (firman Allah yang artinya) : Sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. [Ghasyiyah : 21-22].

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah,” menunjukkan bahwa menghukumi seseorang di dunia ini ialah dengan apa yang ditunjukkan oleh lahiriyahnya. [2]

Demikian sebagian dalil tentang kaidah ini. Dalil-dalil lainnya dapat dilihat dalam kitab Riyadhus Shalihin, karya Imam Nawawi, bab Ijra’ Ahkamin Naas ‘Ala ADh Dhahir, Was Sara-iru Ilallah (Menghukumi manusia sesuai dengan dhahirnya, sedangkan isi hatinya diserahkan kepada Allah).

Oleh karena itulah Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah -di dalam aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau riwayatkan dari imam Abu Hanifah dan lainnya- mengatakan,“Kami tidak menyatakan kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan, terhadap mereka (kaum muslimin) selama tidak nampak dari mereka sesuatupun tentang hal itu. Dan kami menyerahkan isi hati mereka kepada Allah Ta’ala.”

Lalu perkataan tersebut dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi dengan perkataannya, “Karena sesungguhnya kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan lahiriyah (yang nampak), dan kita telah dilarang dari persangkaan dan mengikuti apa-apa yang tidak memiliki ilmunya.” [Minhah Al Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 173].

Kedua : Berdasarkan kaidah di atas, maka orang-orang yang tidak beragama Islam (baik mereka ahlul kitab : Yahudi, Nashrani, atau memeluk agama selain Islam : Hindu, Budha, dan lainnya, atau tidak memeluk agama sama sekali), maka di dunia ini dihukumi dan disikapi sebagai orang-orang kafir. Kita wajib meyakini kebatilan semua agama selain Islam. Meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan para pemeluknya, dan membenci mereka karena Allah, disebabkan kekafiran mereka. Hal itu termasuk mengingkari thaghut, yang merupakan salah satu rukun laa ilaaha illallah. Allah berfirman

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat. [Al Baqarah : 256].

Dia juga berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka,”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” [Al Mumtahanah : 4].

Dengan tegas Allah mengkafirkan ahlul kitab dan orang-orang musyrik di berbagai tempat dalam Al Qur’an. Antara lain Dia berfirman,

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهُُ وَاحِدُُ وَإِن لَّمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:”Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. [Al Maaidah : 73]

Barangsiapa tidak mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah, maka hendaklah mengoreksi kembali aqidahnya. Ketika menyebutkan 10 perkara yang membatalkan Islam, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah antara lain menyatakan,“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.”

Ketiga : Sedangkan orang-orang yang dhahirnya Islam, jika pada mereka didapatkan unsur kemusyrikan atau kekafiran, maka tidak dikafirkan secara langsung. Dapat dikafirkan setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan tidak ada penghalang-penghalang kekafiran.

Syarat-syarat kekafiran yang dimaksud ialah : ilmu, qashd (sengaja, niat) dan ikhtiyar (sukarela, pilihan dan kemauan sendiri).

Adapun penghalang-penghalang kekafiran berupa hal-hal sebaliknya di atas, yaitu : kebodohan, tidak sengaja (keliru, lupa, salah memahami nash, dan semacamnya), dan terpaksa. [3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung mengkafirkan Mu’adz bin Jabal, ketika ia bersujud kepada beliau. Padahal bersujud kepada selain Allah merupakan kemusryikan. Hal itu karena Mu’adz tidak mengetahui, bahwa bersujud kepada beliau adalah kemusyrikan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata, ketika Mu’adz datang dari Syam, dia bersujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda,“Apa ini, wahai Mu’adz?!” Mu’adz menjawab,“Aku mendatangi kota Syam, aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku menginginkan dalam hatiku, agar kami melakukannya terhadap anda.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah kamu lakukan! Sesungguhnya jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan isteri agar sujud kepada suaminya.” [HR Ibnu Majah no. 1853. Syeikh Al Albani mengumpulkan dan membicarakan jalan-jalan hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil 7/55-58]

Demikian juga orang yang tertutup akalnya karena sangat gembira atau lainnya; tidak menjadi kafir ketika mengucapkan perkataan yang mengandung unsur kekafiran dengan tidak sengaja. Sebagaimana hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Sesungguhnya Allah lebih sangat gembira terhadap taubat hambaNya ketika dia bertaubat kepadaNya, daripada (gembiranya) salah seorang di antara kamu yang berada di atas kendaraannya (untanya) di sebuah tanah gersang yang tidak ada air. Lalu untanya itu kabur darinya. Padahal di atas unta itu terdapat makanan dan minumannya. Sehingga dia telah berputus-asa dari untanya tersebut. Lalu dia mendatangi sebuah pohon, kemudian berteduh di bawah naungannya, dia telah berputus-asa dari untanya tersebut. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba dia mendapatkan untanya berdiri di dekatnya, maka dia memegangi kendalinya, lalu berkata karena sangat gembiranya,“Wahai Allah, Engkau adalah hamba-ku, dan aku adalah Rabb-Mu.” Dia keliru (mengucapkan kalimat) karena sangat gembira. [4]

Dan dalil-dalil lainnya tentang masalah ini.

Dengan demikian kita mengetahui, bahwa “barangsiapa yang telah pasti keislamannya, maka keislaman tersebut tetap ada padanya, sehingga hilang dengan sesuatu yang meyakinkan”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seseorang pun, tidaklah berhak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin, walaupun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumen) atasnya dan jalan yang benar jelas baginya. Karena orang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan. Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (kesamaran).” [Majmu’ Fatawa 12/465-466].

Beliau juga menyatakan,“Pengkafiran terhadap seseorang tertentu dan kebolehan membunuhnya, terhenti pada sampainya hujjah kenabian; yang barangsiapa menyelisihinya menjadi kafir. Karena tidaklah setiap orang yang bodoh terhadap sesuatu dari agamanya ini, lalu dia menjadi kafir.” [Ar Raddu ‘Alal Bakri, hal. 258].

Keempat : Bahwa siksaan Allah di dunia dan akhirat ditimpakan setelah kedatangan hujjah (argumen) Allah, berupa diutusnya rasul Allah. Dia berfirman,

وَمَاكُنَّا مُعَذَّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al Isra : 15]

Imam Ibnu Katsir berkata,“(Ayat ini) memberitakan keadilan Allah Ta’ala. Bahwa Dia tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dengan diutusnya para rasul kepadanya.”

Demikian juga firmanNya,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [An Nisa : 165].

Ayat-ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan, bahwa Allah tidak akan menyiksa terhadap perbuatan kekafiran ataupun lainnya, sampai tegak hujjah kepada orang yang melakukan perbuatan itu. Tegaknya hujjah itu dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan ketiadaan penghalang-penghalangnya.

Demikian pula dalil-dalil dari As Sunnah menunjukkan apa yang telah ditunjukkan oleh Al Qur’an.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun dari umat ini -baik Yahudi atau Nashrani- mendengar tentang aku, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penduduk neraka. [5]

An Nawawi rahimahullah berkata,“Di dalam hadits ini terdapat dalil terhapusnya seluruh agama dengan risalah Nabi kita Muhammad n . Dan di dalam pemahaman hadits ini, bahwa orang yang tidak kesampaian dakwah Islam, maka dia ma’dzur (dima’afkan).” [6].

Maka jelaslah bahwa, di dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan udzur kepada orang-orang Yahudi dan Nashara yang tidak mendengar tentang beliau, sehingga mereka tidak wajib masuk neraka, sebagaimana orang-orang yang mendengar tentang beliau, tetapi tidak beriman kepada beliau, maka mereka wajib masuk neraka.” [7].

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,“Maka benarlah, bahwasannya tidaklah seseorang menjadi kafir sehingga sampai kepadanya perkara (perintah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [8].

Oleh karena itulah orang-orang kafir yang tidak kesampaian dakwah yang dibawa oleh para Rasul, pada hari kiamat tidak langsung disiksa, tetapi mereka diuji. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Empat (jenis manusia) akan berhujjah (membela diri) pada hari kiamat : orang tuli yang tidak mendengar apa-apa, orang yang dungu, orang yang pikun, dan orang yang mati di zaman fatrah (tidak mendapati Rasul yang diutus).

Adapun orang yang tuli akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar apa-apa.’

Orang yang dungu akan berkata,‘Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun, dan anak-anak kecil melempariku dengan kotoron hewan.’

Orang yang pikun akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun.’

Dan orang yang mati di zaman fatrah akan berkata,’Wahai Rabb, tidak ada RasulMu yang mendatangiku.’

Maka mereka semua diambil perjanjian yang berisi, bahwa mereka semua benar-benar akan mentaatiNya. Kemudian mereka diperintahkan untuk memasuki neraka. Maka barangsiapa memasukinya, neraka itu menjadi dingin dan menyelamatkan. Dan barangsiapa yang tidak memasukinya, dia diseret ke dalamnya.” [9].

Kelima : Kita tidak boleh menyatakan, bahwa seseorang tertentu sebagai penduduk surga atau neraka, kecuali dengan nash (dalil wahyu) Al Qur’an dan As Sunnah.

Telah kami sampaikan, bahwa manusia itu disikapi dengan dhahirnya. Namun demikian kita tidak boleh menyatakan terhadap orang-orang tertentu –berdasarkan lahiriyah tersebut- sebagai penduduk neraka atau surga, kecuali berdasarkan wahyu. Karena hal itu termasuk perkara ghaib. Kita tidak mengetahuinya.

Kita dapat mengatakan, bahwa sepuluh sahabat yang ketika masih hidup mendapat berita gembira sebagai penduduk surga adalah sebagai penduduk surga. Karena hal itu disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita tidak boleh menyatakan seseorang tertentu sebagai penduduk surga dengan tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat keimanan. Termasuk perkataan sebagian kaum muslimin,“Syahid Fulan………….”

Demikian juga kita dapat mengatakan, bahwa Fir’aun dan Abu Lahab adalah penghuni neraka. Karena disebutkan dalam Al Qur’an. Juga ‘Amr bin Luhai Al Khuza’i sebagai penghuni neraka, karena disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita tidak boleh mengatakan tentang seseorang tertentu sebagai penghuni neraka jika tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat kekafiran.

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah berkata dalam aqidah Ahlis Sunnah yang beliau tuliskan, “Dan kami tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada surga dan tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada neraka.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah dengan menyatakan, “Yang beliau maksudkan, bahwa kita tidak mengatakan terhadap seseorang tertentu dari ahli kiblat (kaum muslimin), bahwa dia termasuk penduduk surga atau neraka, kecuali yang telah diberitakan oleh Ash Shadiq (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).” [10].

Keenam : Telah kami sampaikan, bahwa kebodohan (ketiadaan ilmu) merupakan salah satu penghalang seseorang dikafirkan, sehingga pelakunya diampuni. Tetapi hal ini bukanlah berlaku secara mutlak. Ada perincian sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlis Sunnah Wal Jama’ah.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Adapun pengkafiran, yang benar ialah :
1. Barangsiapa di antara umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan. Bahkan kesalahannya diampuni.

2. Barangsiapa yang telah jelas terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, lalu dia menentang Rasul setelah petunjuk jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan mukminin, maka dia kafir.

3. Dan barangsiapa yang mengikuti hawa-nafsunya, meremehkan dalam mencari al haq, dan berbicara dengan tanpa ilmu, maka dia bermaksiat lagi berdosa.” [11].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Terdapat perbedaan antara muqallid -orang tidak berilmu dan ikut-ikutan- yang mampu untuk mencari ilmu dan mengenal al haq, lalu dia berpaling dari al haq, dengan muqallid yang sama sekali tidak mampu melakukannya. Kedua golongan tersebut ada pada kenyataan.

Maka orang yang mampu tetapi berpaling, dia termasuk orang yang meremehkan dan meninggalkan kewajibannya, tidak ada ampunan baginya di sisi Allah.

Adapun orang yang tidak mampu bertanya dan mencari ilmu sama sekali, mereka ada dua kelompok.

Pertama : Orang yang menghendaki petunjuk, mementingkannya dan mencintainya, tetapi tidak mendapatkannya, dan tidak dapat mencarinya karena tidak ada yang membimbingnya. Hukum orang ini sama seperti orang-orang yang hidup di zaman fatrah, dan orang-orang yang tidak kesampaian dakwah.

Kedua : Orang yang berpaling, tidak ada kemauan terhadap al haq, dan tidak membicarakan dengan dirinya selain apa yang ada padanya sendiri.

Orang yang pertama akan berkata,“Wahai Rabb-ku, seandainya aku mengetahui Engkau memiliki agama yang lebih baik dari agama yang aku peluk, niscaya aku akan beragama dengan agamaMu itu, dan aku tinggalkan agama yang aku peluk. Tetapi aku tidak mengetahui kecuali agama yang aku peluk, dan aku tidak mampu (mendapatkan) agama yang lain. Itulah batas usahaku dan puncak pengetahuanku.”

Sedangkan orang kedua, dia ridha terhadap apa yang ada padanya. Tidak mengutamakan selain yang ada padanya, dan jiwanya tidak mencari yang lainnya. Maka tidak ada perbedaan, antara ketidak-mampuannya dengan keadaan mampunya (tersebut).

Kedua kelompok di atas sama-sama tidak mempunyai kemampuan. Tetapi kelompok yang kedua ini tidaklah harus diikutkan (hukumnya) dengan yang pertama. Karena terdapat perbedaan di antara keduanya.

Yang pertama, seperti orang yang mencari agama (yang haq) di zaman fatrah, tetapi dia tidak mendapatkannya, sehingga menyimpang darinya (agama yang haq) dalam keadaan lemah dan tidak berilmu setelah mengerahkan segenap usaha untuk mencarinya. Sedangkan yang kedua, seperti orang yang tidak mencarinya (agama yang haq). Bahkan dia mati di atas kemusyrikan. (Walaupun) seandainya dia mencarinya, niscaya tidak mendapatkannya.

Maka berbeda antara kelemahan orang yang sudah mencari, dengan orang yang berpaling. Hendaklah anda perhatikan masalah ini. Karena Allah akan menghukumi di antara hamba-hambaNya pada hari kiamat dengan hukumNya dan keadilanNya. Dia tidak akan menyiksa, kecuali setelah tegaknya hujjah terhadap orang itu dengan diutusnya para rasul. Tegaknya hujjah dengan diutusnya para rasul ini sudah terjadi terhadap seluruh manusia secara umum.

Tentang keadaan diri Si Zaid ataupun Si Amr; apakah telah tegak hujjah atau belum? Maka hal itu satu perkara antara Allah dengan hambaNya, yang tidak mungkin diketahui secara pasti. Tetapi yang wajib atas hamba adalah berkeyakinan, bahwa barangsiapa beragama selain agama Islam, maka dia kafir. Allah tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah kepadanya dengan diutusnya para rasul. Ini secara umum. Adapun orang-orang tertentu diserahkan kepada ilmu Allah dan hukumNya, dalam hukum pahala dan siksa. Adapun hukum dunia, maka berlaku sesuai dengan perkara lahiriyah.” [12].

Demikian jawaban kami, semoga menghilangkan kebingungan anda.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin I/459, karya Syeikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
[2]. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin I/460
[3]. Lihat Mujmal Masailil Iman Al ‘Ilmiyyah Fii Ushulil ‘Aqidah As Salafiyyah, hal. 17-18, karya bersama lima murid Syeikh Al Albani, Al Qawaidul Mutsla Fii Shifatillah Wa Asmaa-ihil Husna, hal. 148-154, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya
[4]. HR Bukhari, Muslim no. 2766, dari Abu Sa’id Al Khudri
[5]. HR Muslim no. 152, dari Abu Hurairah
[6]. Syarh Nawawi 2/188
[7]. Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, hal. 194, karya Syeikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
[8]. Al Fashlu Fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal 3/302. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, hal. 194
[9]. HR Ahmad dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Syeikh Al Albani. Lihat Shahih Al Jami’ush Shaghir no. 894
[10]. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 426, Takhrij hadits Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[11]. Majmu’ Fatawa 12/180
[12]. Thariqul Hijratain, hal. 412-413, karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah

Sumber: https://almanhaj.or.id/2989-orang-bodoh-dimaafkan.html