Selasa, 11 April 2017

NU

Rahasia Kealiman Kiai Misbah Bangilan Tuban


Mbah Misbah, begitu beliau akrab disapa adalah ulama kenamaan yang masyhur pada masanya.  Berbagai kitab-kitab kuning klasik, telah berhasil ia terjemahkan. Bahkan, sekelas Kitab Ihya' Ulumuddin karya Imam Ghozali pun sanggup ia alih bahasakan ke dalam literatur Bahasa Jawa.

Saking alimnya, banyak orang yang penasaran atas resep kehebatannya. Bagaimana ia sebegitu alimnya? Hingga banyak kitab klasik yang telah ia terjemahkan dengan baik, sehingga banyak digemari orang, untuk dijdikan rujukan.

Hingga akhirnya ada salah seorang kiai yang memberanikan diri untuk bertanya,

"Amit nuwun sewu nggih mbah. Ngaputene, kulo ajeng tangklet," (Permisi mbah, maaf sebelumnya, saya mau bertanya,) kiai itu mengawali maksudnya.

"Oh, Iya. Arep takon apa?” (Oh, iya. Mau tanya apa kamu?)

"Jenengan kok saget ngalim ngoten niku, resepipun nopo nggih? Kulo estu kepingin?" (Anda kok bisaalim (Pandai) seperti itu, resepnya apa ya? Sungguh, saya juga ingin (pandai seperti anda)

Sejenak, Mbah Misbah Terdiam. Sepertinya ia sedang menerawang, 

"La kepriye olehmu pinter, nak koe wae ngingu whaung?" (Bagaiman engkau bisa pandai, jika dirimu saj memelihara anjing?), ujar Mbah Misbah bernada tinggi.

Kiai tersebut, kaget bukan kepalang. Bagaimana bisa Mbah Misbah menuding ia memelihara anjing di rumah? Sungguh, untuk mendekatpun ia enggan, apalagi sampai memelihara. 

Setelah termenung beberapa saat, dangan mantap ia berkata,

"Estu mbah, kulo mboten ngingu whaung." (Sungguh mbah, Saya tidak memelihara anjing)

"Kae lho, TV mu. Kae lak yo iso ngetoake gambar macem-macem tho? Termasuk whaung." (Itu lho, Televisi mu. Bukankah hal itu bisa menampilkan berbagai macam gambar? Pun dengan (gambar) anjing)

Akhirnya, Kiai tersebut pun tertunduk malu. Malu karena ia tidak begitu jeli, dalam memaknai pernyataan Mbah Misbah. 

Ia pun tersadar, betapa tidak diragukan lagi kealiman Mbah Misbah. Selain itu, kehati-hatian beliau dalam menjauhi perkara haram pun juga teruji. Teringat ia akan hadits rasul:

ففي الصحيحين وغيرهما عن أبي طلحة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " لا تدخل الملائكة بيتاً فيه كلب ولا صورة

(termaktub) dalam kitab Shahih Bukhari Muslim dan lainnya  diriwayatkan dari abi tholhah Radiyallahu 'Anhu dari Nabi Muhammad Salallahu 'alahi Wasalam: "Malaikat tidak akan masuk kepada rumah yang didalamnya terdapat anjing  dan juga gambar."

Ya, bagaiman ia bisa sealim K Misbah Bangilan? Jika Malaikat pembawa segala rizki dan rahmat saja enggan singgah dirumahnya. 

Sedang, Mbah Misbah, jangankan televisi. Hanya sekedar gambar pun tak didapati dikediaman beliau. Demi menjaga dari perkara yang tidak disukai oleh Allah, sekalipun itu diperbolehkan.

***

Hikmahnya yaitu, betapa ke-Wira'i-an (kehati-hatian menjauhi perkara yang  syubhat, apalagi perkara haram) sangat berpengaruh terhadap tingkat kealiman dan kesalehan seseorang. Untuk itu, penting kiranya dalam menjaga putra-putri yang masih dalam proses belajar , terhadap perkara yang haram, bahkan syubhat  sekalipun. (Ulin Nuha Karim)

Dikisahkan oleh Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, KH Muhammad Shofi Al Mubarok di sela-sela  pengajian kilatan Bulan Rajab bersumber dari KH Abdullah Diana, Pengasuh Pesantren Al Iklil Mundri, Bangilan, Tuban, Jawa Timur.

Ar Rohman

JAr-Rahman, adalah salah satu Surat Al Quran yang unik. Bagaimana tidak, di dalam surat tersebut terdapat satu ayat yang diulang-ulang, yaitu ayat:

فَبِأَيِّ الآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبّان

Maka nikmat tuhanmu mana lagi yang kau dustakan.

Ayat tersebut diulang berkali-kali dalam Surat Ar Rahman. Bahkan, penyebutannya di lakukan secara bergantian mulai dari ayat ke 13 hingga akhir surat. Dalam Kitab Tafsir Jalalain dijelaskan:

ذكرت احدى و ثلاثين مرة

 

(Ayat tersebut) dituturkan sebanyak 31 kali.

والإستفهام فيها للتقرير

Dan kalimat tanya di dalamnya (Surat Ar Rahman) itu untuk menetapkan.

Artinya, ayat tersebut memang berupa istifham (kalimat tanya) namun tujuannya bukan untuk bertanya, melainkan menetapkan bahwa mereka (manusia dan jin) itu benar-benar mendustakan nikmat Allah yang maha agung. 

Selain istifham yang tidak membutuhkan jawaban dan disebutkan berulang-ulang, sisi lain yang menarik dalam surat ini adalah penggunaan dhomir khitob tatsniah, yaitu kata ganti untuk dua orang yang diajak bicara. Dalam hal ini, Imam Jalaluddin Al Mahalli menjelaskan:

(رَبِّكُمَا) اى أيها الإنس و الجن

(Kamu berdua sekalian) maksudnya wahai manusia dan jin.

Jadi surat tersebut diwahyukan kepada Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wasalam bukan hanya sebagai peringatan bagi manusia, melainkan jin pun juga menjadi sasaran khitobnya, menjadi sasaran pembicaraan.

Ada kisah yang menarik mengenai dua golongan yang menjadi sasaran pembicaraan wahyu tersebut, yaitu jin dan manusia. Termaktub dalam sebuah hadits:

روى الحاكم عن جابر قال قرأ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم سورة الرحمن حتى ختمها ثم قال: ما لي أراكم سكوتا للجن كانوا أحسن منكم ردا ما قرأت عليهم هذه الاية من مرة (فَبِأَيِّ الآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبّان) إلا قالوا ولا بشيء من نعمك ربنا نكذب فلك الحمد

Hakim meriwayatkan dari Jabir, bahwasannya ia berkata: Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam telah membacakan kepada kita Surat Ar Rahman hingga menghatamkannya. Kemudian beliau berkata: Aku tak habis pikir (mengapa) kamu sekalian diam kepada jin. Mereka (golongan jin) lebih baik seruan jawabannya dari pada kamu (manusia), aku tidak membaca sekalipun ayat:

فَبِأَيِّ الآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبّان

kecuali mereka menjawab: dan tidak sesuatu pun (yang kami syukuri) dari nikmat-nikmatmu, wahai tuhan kami, kami benar-benar mendustakannya, maka bagimulah segala puji.

Dari hadits di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu ketika Rasulullah mengutarakan kekecewaan beliau kepada manusia karena diamnya mereka terhadap Firman Allah yang begitu keras menyindir mereka. Manusia memilih apatis, tak menghiraukan FirmanNya. Rasul lalu berkata,

"Aku tak habis pikir mengapa engkau diam saja kepada jin".

Kekecewaan Rasulullah semakin terlihat dengan perkataan beliau, “Sungguh, mereka (golongan jin) lebih baik dari pada kamu sekalian."

Hal itu diucapkan beliau bukan tanpa dasar. Beliau menjelaskan bahwa golongan jin ketika dibacakan ayat:

فَبِأَيِّ الآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبّان

Mereka lalu berseru dengan penuh penyesalan, "Bahkan, tidak sesuatu pun (yang kami syukuri) dari nikmat-nikmatmu, wahai Tuhan kami, kami benar-benar mendustakannya, maka bagimulah segala puji."

Kisah diatas membuktikan kepada kita betapa lalainya manusia terhadap kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah. Dan akibat itu pula derajat manusia lebih rendah dari pada golongan jin sebab kelalaiannnya. Sungguh, kenyataan yang memang mengecewakan Rasulullah.

Cerita tersebut juga memberikan pelajaran bahwa betapa agungnya Al Quran. Al Quran sebagai "bacaan lintas  alam" tidak hanya diperuntukkan kaum manusia saja, melainkan untuk jin sebagai makhluk yang juga ciptaan Tuhan. Hal ini mengukuhkan Nabi Muhammad yang bukan hanya seorang nabi. Melainkan juga rasulu rabil 'alamin, utusan Tuhan semesta alam.

(Ulin Nuha Karim) 

Disarikan dari Kajian Tafsir Jalalain oleh Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, KH Muhammad Shofi Al Mubarok. 

Kamis, 06 April 2017

Kisah ashabul jahfi

JNur Akhir Zaman

Sabtu, 01 April 2017

Kisah Ashabul kahfi blm di post

J-w01

Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-'Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya.....
Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:

"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"
(QS al-Kahfi:10)

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"

"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
[Reply]

jmw01

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."

Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.

Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
[Reply]

jmw01

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan. 

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.

Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.

Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"

"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."

Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"

"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan."

Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?

Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?

Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?

Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"

"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"

"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar."

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"

"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"

"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"

"Ya," jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.

Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
"Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
[Reply]

jmw01

Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua." 

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"

Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."
[Reply]

jmw01

Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi."

Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!"

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"

"Aphesus," sahut penjual roti itu.

"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.

"Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!"

"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."

Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?"

"Ya. Benar," sahut Tamlikha.

"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.

"Ya, ada," jawab Tamlikha.

"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"

"Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah rumahku!"

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!"

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"

Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."

Kemudian diteruskannya dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?"
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"

Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.

"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"

Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?"

"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya.

"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.

Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:

Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid."

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

Muhammad Jadmiko di 13.57

Blm di post 2

J

Nur Akhir Zaman

Rabu, 05 April 2017

Makna dan hakikat la ilaha ilalloh blm di post

Makna dan hakikat JMakna dan Hakikat Laa ilaaha illallah ...

Sebagai kaum muslim kita sering melafadzkan kalimat لا اله الا الله محمد رسول الله (Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah) atau yang lebih dikenal dengan kalimat tauhid. Tapi selama ini kita hanya sebatas melafadzkannya dengan lisan tanpa dibarengi dengan kamantapan hati serta pengetahuan tentang makna dan hakikat kalimat tersebut. Padahal kalimat tauhid mengandung makna yang sangat dalam dan memberikan pengaruh yang luas bagi kehidupan manusia di dunia ini.

Kalimat Laa ilaaha illallah terdiri atas nafyu "Laa ilaaha" dan itsbat "Illallah". Keduanya tidak dapat dipisahkan. Artinya seorang muslim tidak bisa hanya melafadzkan nafyu-nya tanpa itsbat atau sebaliknya hanya meng-itsbat-kan tanpa me-nafyi-kan.

Kalimat tauhid harus merupakan kata hati dan sekaligus kata lidah. Kata hati mencakup pengetahuan tentang kalimat itu dan pembenarannya, mengetahui sebenar-benarnya apa yang dikandungya berupa penafsiaran dan penetapan, mengetahui fakta sesembahan yang ditolak selain Allah, mengetahui sesembahan yang dikhususkan kepada-Nya, dan yang lainnya tidak mungkin ditetapkan sebagai sesembahan. Menerapkan pengertian ini dengan melibatkan hati sanubari yang didasari pengetahuan, ma'rifat, keyakinan dan kondisi adalah kondisi diharamkannya neraka bagi orang yang mengatakannya. Di dalam shahih Muslim disebutkan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah serta menghujat apa yang disembah selain Allah, maka diharamkan harta dan darahnya sedang perhitungannya ada pada Allah."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata "Hakikat Laa ilaaha illallah adalah tidak ada kesenangan dan kenikmatan yang sempurna bagi hati kecuali dalam kecintaan kepada Allah dan ber-taqarrub kepada-Nya dengan mengerjakan apa-apa yang dicintai-Nya. Kecintaan tak akan terjadi kecuali dengan berpaling dari kecintaan selain-Nya, sedangkan Muhammad Rasulullah adalah secara murni mengerjakan apa yang beliau perintahkan dan menahan dari apa yang dilarang dan dicegah beliau. "

Sedangkan Ibnu Qoyyim berpendapat: "Tauhid bukan sekedar pernyataan seseorang hamba bahwa tiada pencipta selain Allah, Allah adalah Rabb dan penguasa segala sesuatu, sebagaimana orang-orang yang menyembah berhala juga menyatakan seperti itu, tetapi tetap dalam kemusyrikan. Tauhid mengandung kecintaan kepada Allah, tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya, patuh sebenar-benarnya untuk ta'at kepada-Nya, memurnikan ibadah kepada-Nya, menghendaki pertemuan dengan wajah-Nya Yang Maha Tinggi dengan segenap perkataan dan perbuatan, memberi dan menahan , mencinta dan marah karena-Nya, serta menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menyeret kepada kedurhakaan kepada-Nya. Barangsiapa mengetahui hal itu tentu mengetahui sabda Nabi: "Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah karena dengan ucapannya itu ia mengharap pertemuan dengan wajah-Nya." Dan juga sabdanya: "Tidak masuk neraka orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah. "

Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: "Inilah penjelasan yang paling penting tentang makna Laa ilaaha illallah. Sekedar ucapan tauhid ini saja belum mampu menjaga darah dan harta, bahkan juga tidak hanya sebatas pada penetapannya saja, tidak terbatas pada perbuatannya yang tidak berdo'a kecuali kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya. Properti dan darahnya tidak dilarang bila seseorang menambahi kekufurannya dengan sesuatu yang disembah selain Allah. Andaikata ia khawatir dan ragu-ragu tentang kalimat ini, maka darah dan hartanya tidak diharamkan. "

Lebih lanjut lagi Muhammad bin Wahab menjelaskan kalimat tauhid memiliki kepentingan membebaskan manusia dari penyembahan sebagian diantara manusia terhadap sebagian yang lain kepada penyembahan Dzat Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Taqwa menjadi ukuran dan kebanggaan yang selalu diharapkan manusia, bukan tradisi jahiliyah yang diwariskan bapak dan nenek moyang kepada anak-anaknya. Maka setiap muslim yang benar-benar dalam ke-Islaman-nya akan memperoleh kebebasan menyelami kalimat ini, sehingga ia termasuk orang yang menyembah Allah berdasarkan pengetahuan, kepandaian dan keyakinan.

Pengaruh Kalimat Laa ilaaha illallah dalam kehidupan manusia.

Seperti halnya shalat, kalimat tauhid juga memberikan pengaruh pada diri seorang muslim dalam kehidupannya. Al-Maududi menyebutkan ada sembilan pengaruh kalimat Laa ilaaha illallah dalam kehidupan manusia:

Pertama, dengan kalimat ini pandangan seorang muslim tidak menjadi sempit, berbeda dengan orang yang mengakui banyak sesembahan, terlebih lagi bagi yang mengingkari-Nya.

Kedua, menumbuhkan kehormatan dan harga diri yang tidak bisa dibuat oleh sesuatu yang lain.

Ketiga, menumbuhkan sikap tawadhu 'tanpa menghinakan dan rendah hati tanpa menyombongkan diri.

Keempat, seorag mukmin akan mengetahui secara yakin, tidak ada jalan keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan menyucikan diri dan beramal sholeh.

Kelima, tidak tersusupi rasa putus asa, sebab ia yakin Allah memiliki simpanan di langit dan di bumi.

Keenam, menunjukkan manusia kepada kekuatan besar berupa ambisi, keberanian, sabar, keteguhan hati, dan tawakkal ketika mengemban urusan-urusan penting karena mengharap ridha Allah, dan juga merasakan satu kekuatan yang menguasai langit dan bumi.

Ketujuh, menggerakkan keberanian pada manusia dan mengisi hati dengan semangat. Karena yang membuat manusia menjadi takut dan melemahkan ambisinya ada dua hal, yaitu; kecintaan terhadap dirinya sendiri, harta dan keluarga serta keyakinannya bahwa disana ada seseorang selain Allah yang dapat mematikan manusia.

Kedelapan, mengangkat kemampuan manusia, menumbuhkan ketinggian, kepuasan dan kecukupan, membersihkan hati dari noda-noda kerakusan, keserakahan, dengki, rendah diri, suka mencela dan sifat-sifat kurang baik lainnya.

Kesembilan, iman kepada Laa ilaaha illallah membuat seorang mukmin selalu terkait dengan syari'at Allah dan sekaligus menjaganya.

Ibnu Rajab menyebutkan tentang keutamaan-keutamaan kalimat tauhid: "Allah tidak melimpahkan kenikmatan kepada seorang hamba lebih besar dari memberinya pengetahuan tentang Laa ilaaha illallah. Kalimat ini bagi para penghuni surga bagaikan air dingin bagi para penduduk dunia. Karenanya disediakan daruts-tsawab dan darul iqab. Karenanya pula para rasul diperintahkan berjihad. Maka barangsiapa yang menyatakannya, harta dan darahnya terjaga. Dan barangsiapa yang tidak mau mengatakannya, harta dan darahnya dihalalkan. Kalimat ini merupakan kunci surga dan kunci dakwah para rasul. " 
Maka dari itu, megapa Allah menjadikan kalimat tauhid sebagai rukun Islam yang pertama dan yang terpenting dalam Islam? Yaitu untuk membuat seseorang manusia sebagai muslim. Yang dimaksudkan muslim adalah hamba yang ta'at dan tunduk kepada Allah. Seseorang tidak bisa disebut hamba Allah kecuali ia benar-benar beriman dari hatinya bahwa tidak ada Illah selain Allah. Karena kita akan menjadi muslim sejati dengan mengamalkan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya jika kita sudah memiliki keyakinan yang kuat tentang kebenaran-kebenaran Islam yang dimulai dari rukunnya yang pertama.

Wallahu a'lam bishshowab.

Tambahkan Foto

Blm di post

JNur Akhir Zaman

Kamis, 06 April 2017

MENCARI KERIDHOAN ALLOH SWT MELALUI SYAFA'AT ROSULULLOH SAW DENGAN JALAN SUCI-MENSUCIKAN DIRI

Mukadimah Sufi Muda:

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh...
Ikhwal muslimin wal muslimat di mana saja berada yang semoga selalu dalam naungan rohmat maghfiroh (pengampunan) dari Alloh SWT. Kali ini saya membuat satu laman blog baru yang bernama Nur Akhir Zaman sebagai blog utama, melalui blog kita yang baru ini saya akan mengupas tentang kebenaran jalan yang lurus yang di ajarkan dan di rahasiakan oleh Rosululloh Baginda Nabi kita tercinta Nabi Agung Muhammad SAW yang semoga dapat sekalian kita tempuh bersama-sama. Sebelumnya saya informasikan bahwa saya membuat blog baru Nur Akhir Zaman sebagai ladang ibadah dan berbagi ilmu dan untuk mengupas lebih dalam lagi ilmu-ilmu Alloh. Namun karena saya juga terbentur oleh Hadits Qudsi yang menyatakan ilmu ini tidak boleh sembarangan di sebarluaskan kepada orang yang tidak membutuhkan karena hal tersebut adalah perbuatan yang zholim. Namun ilmu ini harus di berikan kepada orang yang membutuhkan karena jika tidak itu pun masuk kepada perbuatan yang zholim. Dari Hadits Nabi SAW tersebut mengertilah saya maksud selama ini guru saya sengaja tidak dapat bersikap seolah-olah tidak tegas kepada seluruh jamaahnya Majlis Dzikir/ahlithThoriqoh Nur Akhir Zaman. Karena saking dalam nya ilmu beliau. Dan yang akan kita bahas kali ini dan kita kaji bersama-sama adalah hal-hal mendasar yang menjadi modal pokok keyakinan saya dalam menempuh jalan thoriqoh yang mana semoga ini juga akan dapat menjadi modal keyakinan kita bersama. 
Pernahkan kita mendengar akan ada suatu golongan umat Nabi Shollollohu 'Alaihi Wasallam pada hari berbangkit nanti di padang mahsyar (yaumil akhir) yaitu umat yang akan di bangkitkan 'tanpa hisab'. Bagaimanakah caranya di bangkitkan tanpa hisab? Padahal manusia adalah tempatnya salah dan dosa-dosa. 
Dari kitab yang saya baca yang mana kitab tersebut adalah kitab dari Astana ka-Cirebonan tentang asbab awal mula penciptaan manusia. Orang yang akan masuk Surga tanpa hisab adalah orang-orang khususiyah yang menjalankan (laku) thoriqot yaitu suci mensucikan diri dan menegakkan syari'at Nabi Muhammad SAW. Ilmu yang selama ini saya serap dalam hati saya dari guru-guru saya adalah. Setinggi apapun ilmu yang sudah kita miliki. Pada dasarkan akan kita kembalikan kepada Alloh. Artinya kita sungguh tidak memiliki ilmu apa-apa. Itulah yang di sebut fana di hadapan Alloh. Dari situ kita akan jauh dari sifat sombong akan ilmu. Dengan begitu ilmu kita hanyalah 'ilmu padi', makin berisi semakin merunduk. Dari sumber kitab di atas saya dapati bahwa kenapa suatu kaum mendapat ke-khususan tersebut? Yaitu di bangkitkan oleh Alloh tanpa di hisab. Karena di dunia saja mereka menempuh jalan yang khususiyah. Maka akan di bangkitkan dengan khusus pula. Bukan itu juga intinya. Namun para sufi-sufi yang telah menetas menjadi Waliyulloh ini telah mendapat ilmu laduni dari Alloh SWT dan telah di beritahukan lautan ilmu hakikat yang tanpa batas oleh Alloh. Mereka (para Wali) diberitahu sirrulloh (rahasia Alloh SWT). Sebab itulah mereka akan di bangkitkan tanpa hisab. Dan pada kitab yang tidak sembarangan itu di jelaskan di awal. Barang siapa yang mengetahui hal ini. Maka akan di hapus segala dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang. Subhanallohil 'Adhiim...
Kitab tersebut adalah peninggalan atau wejangan dari para Wali 9 dahulu di tanah Jawa. Yang mana saya membenarkan hal tersebut karena saya pribadi tidak hanya mempelajari kitab tersebut saja. Namun kitab-kitab karangan Imam besar setingkat Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, Imam Al-Ghozalli dan Ibnu Athoillah pun sama kandungan serat dan hakikatnya. Cuma berbeda dari segi bahasa dan kosa kata saja. Namun arti dan maknanya yang tersirat adalah sama.

Dan juga dari guru saya, saya dapati bahwa untuk dapat berjumpa dengan Alloh SWT di dunia maka kita harus menempuh tangga ilmu Islam. Yang mana ia seperti anak tangga yang harus kita tapaki satu demi satu. Ada 11 ilmu Islam yang harus kita lalui dengan susah payah untuk benar-benar mencapai keridhoan Alloh SWT melalui syafa'at Rosululloh SAW. Tangga pertama dari ilmu tersebut adalah Syari'at. Bayangkan. Jika seumur hidup kita hanya berdiri tegak di atas tangga pertama tersebut tanpa mau menapaki tangga ke-dua. Maka selamanya kita hanya berada di bawah. Tangga ke-dua adalah Thoriqoh. Tangga ke-tiga adalah Hakikat. Tangga ke-empat adalah Makrifat. Dan seterusnya sampai 11 yang mana saya tidak bisa jelaskan satu demi satu tanpa arahan guru saya. Karena ini masih di rahasiakan. Dari sesuatu yang di rahasiakan di situ terletak hakikat perahasiaan yaitu untuk di cari. Kenapa di sembunyikan? Ya jelasnya untuk di cari. Di cari oleh siapa? Siapapun yang mau bersungguh-sungguh dalam menempuh dan meniti agama Alloh. Mengenai hal ini saya akan terangkan dalam blog berjudul Separuh Kantung Ilmu Rosululloh SAW. Namun pada kesempatan kali ini saya akan jelaskan mengapa kita harus ber-Thoriqoh?

Dalam pengertian awam kita. Ilmu Syari'at, Thoriqoh, Hakikat dan Makrifat di simpulkan menjadi satu yaitu Tasawuf. Pelaku Tasawuf di sebut Sufi. Sufi adalah orang beriman kepada Alloh yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Alloh dengan jalan bersuci atau suci mensucikan diri. Biasanya seorang sufi itu tauhidnya sudah lurus dan hanya satu. Yaitu tauhid Al-Haq. Berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang masih memiliki syirik khofi (syirik tersembunyi) di dalam hatinya. (Dan sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui yang ada di dalam isi hati manusia. Dan Alloh Maha Menatap dengan sempurna). Masih percaya dengan kebendaan dan menyembah selain Alloh. Mengenai hal ini saya juga akan kupas nanti. Mungkin pada blog berikutnya atau entah. Maka Rosululloh SAW berpesan hiasilah dirimu dengan Syari'at. Seperti Nabi Muhammad SAW. Sayangnya banyak sekali saat ini Sufi Sufi pengakuan (palsu) yang mengotori atau merendahkan martabad Sufisme. Terutama orang-orang Kejawen yang mengaku sudah maqom Manunggaling Kawulo Gusti tapi dia tidak mendirikan sholat. Maka jangan sebut dia seorang Wali atau Sufi. Sufi sejati akan menjalankan segala perintah Alloh dan Rosul Nya sampai ia mati. 
Maka, sebelum saya terangkan pokok permasalahan yang akan kita kaji bersama-sama. Ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang unsur-unsur pokok diri kita yang di sebut manusia.

Yang di sebut sebagai manusia itu terdiri dari tiga unsur pokok:

1. JASMANI (BADAN/TUBUH KASAR)
2. RUHANI (NYAWA)
3. AN-NAFS (JIWA)

Itulah yang di sebut manusia atau Al-INSAN. JASMANI tanpa RUH di sebut MAYAT. Dan RUH saja tanpa adanya JASAD di sebut ROH/NYAWA. JIWA saja tanpa BADAN dan RUH di sebut ARWAH. Setiap orang dan setiap guru memiliki istilah masing-masing mengenai hal ini untuk menjelaskannya kepada santrinya. Namun intinya adalah sama. Maka yang di sebut manusia adalah tiga unsur di atas. Ada JASAD, RUH dan JIWA. RUH ini hakikatnya hanya sebagai penghubung antara JASAD dan JIWA. Teori ini sudah saya buktikan saat saya sedang meraga sukma. Jiwa saya mengembara entah kemana namun mampu kembali lagi ke 'wadag' badan saya karena masih ada RUH yang mendiami JASAD saya.

Kita umpamakan bahwa JASMANI adalah sebuah kendaraan. RUHANI adalah mesin/bahan bakar. Dan AN-NAFS (JIWA) adalah supir yang mengendalikan kendaraan tersebut. Maka segala perbuatan manusia yang bertanggung jawab adalah AN-NAFS (JIWA). Ibarat mobil mengalami sebuah kecelakaan maka yang bertanggung jawab adalah sang supir.

Atas dasar apa pernyataan tersebut? Atas dasar apa dikatakan bahwa JIWA itu harus bertanggung jawab atas segala macam amal perbuatan manusia? Atas dasar firman Alloh SWT dalam Al-Qur'an surah Az-Zumar ayat 70 yang artinya:
"Akan dihadapkan tiap-tiap JIWA, dimintai pertanggung jawaban segenap amal perbuatannya masing-masing. Karena sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui apa-apa yang diperbuat oleh manusia di muka bumi."

Di dalam JASAD manusia memiliki organ vital berupa otak yang memiliki kekuatan yang luar biasa:

Kekuatan otak itu mengolah tugas JIWA. Dan di lengkapi oleh tiga unsur:
1. Akal: Artinya untuk pertimbangan/perencanaan. Gunanya untuk mempertimbangkan dan merencanakan.
2. Fikir: Artinya untuk perhitungan. Gunanya untuk memperhitungkan.
3. Dzikir: Artinya untuk ingatan, gunanya untuk mengingat-ingat sesuatu hal.

QS-Al-Baqarah ayat 63 menjelaskan tentang kekuatan tersebut.

Di manakah Alloh SWT meletakkan AN-NAFS itu?

Rosululloh Shollollohu 'Alaihi Wasallam bersabda yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya:
"Wahai insan, ketahuilah olehmu bahwa di dalam jasmanimu itu ada segumpal daging. Jika daging itu sehat maka sehatlah seluruh jasmanimu, tetapi jika daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasmanimu. Dan daging yang di maksud adalah jantung tempat atau wadah dari AN-NAFS (JIWA)."

Kenalilah Musuh-Musuh Manusia.

Yang di sebut manusia atau Al-Insan yang terdiri dari tiga unsur di atas memiliki musuh. Tentu yang di serang adalah sang pengemudi agar manusia menjadi tersesat dari jalan Alloh dan mengikuti langkah-langkah syaithon.

Pada AN-NAFS (JIWA) ini, Alloh memberikan perlengkapan tiga sifat pokok (dasar) yang kekuatannya sama kuat. Atau sifat satu dan sifat lainnya saling mempengaruhi.
Sifat utama JIWA yang memiliki kekuatan mendorong manusia kepada sebuah pengaruh tertentu adalah. 

1. Syahwat atau lauwamah (Jin-Narisamum). Sifatnya: Pemalas, serakah, rakus, lemah, dan tidak berketentuan. 
2. Gadhab atau amarah (Iblis-Nar). Sifatnya: Angkara murka, sombong, dan ria', ingin menang sendiri dan kejam.
3. Natiqah atau muthmainah (Malaikat-Nur). Sifatnya: Arif, bijaksana, penimbang rasa, tenang dan tentram.

Itulah pengaruh tiga unsur kekuatan yang berada dalam JIWA. Maka kita di haruskan mengendalikan NAFS oleh karena jika tidak di kendalikan maka kecelakaan pasti akan di dapatkan oleh seorang manusia baik segera atau kelak di yaumil akhir. Jagalah JIWAmu dan hiasilah ia dengan keindahan-keindahan, karena engkau sekalian disebut manusia bukan karena jasmanimu, akan tetapi karena JIWAmu. 

Siapakah Sebenarnya Musuh-Musuh Manusia Itu?

Musuh manusia yang sebenarnya adalah iblis dan jin. Perbuatan iblis itu di namakan syaithon yang artinya kejahatan. Sifat inilah yang berusaha untuk menyesatkan dan menjerumuskan manusia kedalam kenistaan di dunia dan kedalam api neraka di akhirat kelak. Mereka akan menyesatkan manusia dari jalan yang benar dan baik. Hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT dalam Al-Qur'an Al-Karim surah Shaad ayat 71 s/d 74.

Muhammad Jadmiko di 00.22

Berbagi

 

Tidak ada komentar: